Sang Jawara
Premanisme, itulah yang telah menjelma
menjadi budaya negeri ini. Entah bagaimana mendeskripsikannya, hampir tak
satupun elemen di negeri ini yang luput darinya tak terkecuali lingkungan
sekolah. Dari budaya premanisme dan brandalisme inilah muncul istilah bully
yang berujung pada pencitraan sekolah sebagai tempat angker yang menimbulkan
rasa tak nyaman bagi penghuninya. Belum lagi stasiun-stasiun televisi yang
justru dengan masif mengkampanye-kannya melalui sinetron-sinetron andalannya. Yang
mengherankan adalah program-program yang demikian ini yang justru menarik
per-hatian masyarakat. Padahal komposisi antara aspek hiburan dan pesan
moralnya sangat tidak proporsional.
Setelah pekan orientasi selesai, aku
menjalani hari-hariku di sekolah seperti biasa. Semua terasa baik-baik saja.
Tak sulit untuk menghafal nama-nama teman sekelasku karena jumlah kami sangat
sedikit. Sedangkan untuk teman-teman selain teman sekelasku, aku sudah mengenal
mereka dari sebelum aku masuk SMA.
Hingga dua pekan pasca masa orientasi, aku
sangat menikmati hari-hariku. Semua orang bersikap ramah kepadaku. Mungkin
karena aku anak kepala sekolah jadi mereka tak mau mencari masalah denganku.
Hingga pekan ketiga, muncullah sekelompok siswa yang tidak diharapkan
kehadirannya oleh siapapun. Mereka bukan murid baru, aku pun sudah mengenal
mereka sebelum aku masuk SMA. Mereka juga sejatinya telah mengenalku, hanya
saja aku yakin cara mereka memperlakukanku akan sangat berbeda dari orang lain.
Merekalah para berandalan sekolah kami. Kehadiran mereka senantiasa diiringi
kekhawatiran dan ketakutan bagi seluruh warga sekolah. Mereka sendiri juga menyadari
hal ini, hingga mereka dengan bangga menyebut diri mereka sebagai teroris
sekolah. Yah, tentunya sematan itu sangat pantas bagi mereka. Kami lebih senang
jika mereka tidak masuk atau membolos sekolah. Pasalnya kehadiran mereka di
sekolah hanya membuat kami tambah tidak betah berada di sekolah. Aku sendiri
sering gelisah jika melihat mereka. Jantungku kerap berdetak sangat kencang
seiring kehadiran mereka di sekolah. Sebisa mungkin aku tidak berinteraksi
dengan mereka sebelum aku benar-benar siap.
Teroris sekolah ini terdiri dari empat
orang berandalan. Mereka adalah Putra, Herly, Andi, dan Rizal. Herly, Rizal dan
Andi adalah murid kelas dua belas, pada dasarnya mereka tidak seberandal Putra
yang masih duduk di kelas sebelas. Herly, Rizal, dan Andi menyadari posisinya
yang sudah di pucuk karir SMAnya. Sedangkan Putra, dia sudah lebih dari dua
kali dikeluarkan dari sekolah dan berakhir di sekolahku ini. Sejatinya pihak
sekolahku sudah me-ngetahui riwayat kenakalannya yang sampai berkali-kali
dikeluarkan dari sekolah, namun mau bagaimana lagi? Sekolah kami juga butuh
murid. Sungguh menyesakkan melihat kenyataan bahwa untuk tetap berdiri,
sekolahku harus mengemis perhatian serta dengan nekadnya menerima para
berandalan. Selain itu, sekolah kami bukan Hogwarts yang bisa menyulap
berandalan menjadi ulama. Kredibilitas sekolah kami tidak cukup. Sekolah kami
hanyalah sekolah biasa yang butuh proteksi jika memang negeri ini peduli dengan
pendidikan.
Aku sadar betul jika kelak aku akan menghadapi
para beran-dalan ini, sehingga aku telah jauh-jauh hari mempersiapkan makar
untuk menyingkirkan mereka. Aku tak ingin terlihat bodoh di tempat-ku sendiri.
Meskipun kujalani awal karir SMA ku dengan aura pesimistis, aku tak mau
kehadiran mereka memperkeruh riwayat hidupku di SMA. Walaupun kedengarannya
mustahil untuk seperti anak-anak lain yang punya masa indah di sekolah, namun
setidaknya milikku tak sampai lebih buruk.
Suatu hari, aku sedang nongkrong di luar
pagar sekolah tepatnya di samping gerbang sekolah bersama Beni. Saat itu adalah
jam istirahat. Dikejauhan kulihat Putra dan Rizal dengan angkuhnya berjalan
mendekati Riyadi, teman sekelasku. Mereka terlihat berbincang-bincang cukup
lama. Sekejap aku bertanya-tanya tentang apa yang mereka bicarakan. Namun aku
yakin topik yang mereka bincangkan bukanlah topik yang mengasyikkan. Itu karena
Putra tidak biasa akrab dengan siwa yang lain selain orang-orangnya sendiri.
Aku terus memperhatikannya sampai seketika
mereka menghentikan perbincangan tersebut. Putra terlihat pergi meninggalkan
Riyadi dengan ekspresi kekesalan yang tampak pada perawakannya yang memang
sudah terlihat sangar itu. Ia berjalan ke arah parkiran, ia menaiki sepeda
motornya dan melesat pergi. Aku berprasangka ia akan membolos hari itu bersama
Rizal. Ia menunggangi motornya dan melaju ke arah keluar sekolah. Di dalam
hatiku seketika merasa lega karena seperti yang kukatakan tadi, sekolah terasa
lebih tentram tanpa kehadirannya. Aku terus mengawasinya hingga ia melewati aku
dan Beni yang sedang nongkrong di dekat gerbang sekolah. “Syukurlah!” gumamku.
Sayangnya,
hanya sekejap saja aku menikmati ketenangan itu. Pasalnya, setelah mengendarai
motornya sejauh ±50 meter, Putra dan Rizal tiba-tiba memutar arah dan berbalik menuju ke
arahku. Sial! Seketika itu juga timbul rasa khawatir di benakku. Di sisi lain
aku juga bertanya-tanya, mau apa mereka menghampiriku? Apakah mereka bermaksud
mengajakku nongkrong bersama mereka? Tapi jika kulihat dari ekspresi wajah
Putra yang penuh dengan kekesalan, sepertinya ia sedang tidak ingin bersahabat
kali ini.
Benar saja, ia menghentikan
laju motornya di dekatku seraya melemparkan tatapan penuh kebencian ke arahku. Cuaca
hatiku yang semula normal-normal saja, seketika berubah menjadi kelam seolah
awan gelap tiba-tiba menghampiriku. Ia menantangku duel saat itu dan seketika
hari itu menjadi hari yang sangat mendebarkan bagiku.
“Ngapain lu liat-liat gua? Gak
seneng lu?” teriak Putra yang sedang berusaha membangun konflik di antara kami.
“Ih, siapa yang ngeliatin elu
sih?” jawabku sewot.
“Alaaah, gak usah banyak bacot
lu! Gua tau elu dari tadi ngeliatin gua. Ngajak duel tah?” katanynya,
menggertak.
Sial! Rupanya ia sadar jika
sedari tadi aku mengawasinya. Matilah aku jika aku menghadapinya saat itu juga.
Ini bukanlah pertarungan yang aku harapkan. Aku benar-benar belum siap hari
itu.
“Lah? Pede bener sih lu? Orang
gua dari tadi cuman nongkrong diem doang kok.” Ujarku, mengelak.
“Alaah, udah lah! Kebanyakan
omong lu ini. Udah, kita duel aja sekarang! Ayok ikut gua di lapangan
kecamatan! Duel kita di sana” uajarnya yang semakin gencar menantangku.
Aku paham betul jika Putra
bukanlah tipe orang yang cukup berani untuk berdual satu lawan satu. Sudah
pasti ia akan memanggil sekutu-sekutunya untuk datang mengeroyokku. Hal itu
terbukti ketika ia menentukan tempat duel, yakni di lapangan kecamatan dimana
di sanalah tempat teman-temannya biasa nongkrong. Aku tidak akan sebodoh itu
menurutinya. Sebisa mungkin aku harus menghindar dari pertarungan itu dan
menyingkirkannya di kemudian hari.
“Loh? Ngapain jauh-jauh ke
lapangan kecamatan? Kalo emang lu mau duel, ayok di sini aja!” ujarku, balik
menggertak.
“Ah, gak! Di sini kan wilayah
elu, temen lu banyak di sini. Udah, ayok kita duel di lapangan aja!” katanya, mendesakku.
“Nah? Kan elu jawara? Apa
masalahnya kalo duel di wilayah orang? Lagian gua gak kayak elu ya, senengnya
keroyokan. Lu pikir gua begok? Elu ngajak ke lapangan kecamatan biar lu bisa
manggil temen-temen lu kan?” sangkalku.
Percekcokan itu tak sekedar
pelampiasan emosi semata, namun selalu terdapat tindakan-tindakan strategis di
setiap ujaran-ujaran yang terlontar dari mulut kami. Itu sebabnya aku harus
berusah memilah kata-kata yang akan kuucapkan sembari memahami setiap perkataan
yang ia lontarkan. Hal ini supaya aku tidak terprovokasi oleh gencarnya
tantangan yang ia berikan. Percekcokan semacam ini bukanlah sekedar adu mulut
semata, namun juga merupakan sebuah pertarungan psikologi.
“Ati-ati ya lu kalo ngomong!
Gua gak akan menggil temen-temen gua cuman buat ngadepin elu. Udah lah!
Kebanyakan omong lu ini. Gua tunggu lu di lapangan kecamatan, kita duel di sana
satu lawan satu!” ucapnya sambil menghidupkan mesin motornya.
Setelah berujar demikian, ia
kemudia berlalu dari hadapanku. Pertengkaranku dengan Putra hari itu
benar-benar panas. Sedangkan Beni hanya diam tanpa melakukan manuver apa-apa.
Bukan berarti ia tak mau membantuku, tapi dia hanya sadar jika aku sebenarnya
ingin menghindari pertengkaran itu. Oleh karena itu, ia berusaha untuk tidak
memperkeruh suasana. Adapun Rizal, ia juga hanya diam di atas motor tanpa
melakukan tindakan. Aku ragu akan motivnya untuk sekedar berdiam diri, namun
bisa jadi dia juga tidak menginginkan adanya pertarungan itu. Ia sadar besarnya
resiko yang akan ia hadapi jika berurusan denganku.
Awalnya aku merasa aman
setelah mereka berlalu. Namun sesaat saja kedamaian dan ketenangan kurasakan.
Tak lama kesemuanya itu runtuh berserakan seiring aku melihat Putra dan Rizal
kembali lagi. Kali ini jauh lebih ekstrim. Putra kembali dengan membawa
sebatang kayu balok dan sepertinya kali ini ia sudah benar-benar kehilangan
kesabaran. Nampaknya kali ini ia benar-benar akan segera menghabisiku di
tempat. Ia memberhentikan sepeda motornya lalu kemudian ia turun dan menyeretku
ke sudut bangunan. Tangan kirinya mencekik kerah bajuku, sedangkan tangan
kanannya memegang kayu balok yang siap disasarkan kepadaku kapan saja. Saat itu
jantungku berdebar kencang, aku dapat mendengarnya. Ia tak ubahnya seperti
suara kereta api. “Mati aku!” gumamku.
Di saat tersudut seperti itu
Beni tak bisa berbuat apa-apa, pun dengan Rizal. Putra semakin keras
menggertakku. Ia memerintahkan Rizal untuk menyalakan mesin motornya supaya ia
bisa segera kabur setelah menghabisiku. Jantungku terasa mau meledak setelah ia
memukulkan kayu baloknya ke tembok hingga patah. Meskipun demikian, aku sadar
betul bahwa ia tidak akan dengan ceroboh memukulku. Ia memukulkan kayu baloknya
ke tembok hanya sekedar menggertakku dan menakut-menakutiku. Ia berniat
memprovokasiku untuk memukulnya duluan. Itulah yang sebenarnya ia harapkan.
Jika kulakukan, maka habislah aku. Aku akan kalah dan dinyatakan bersalah jika
masalah itu dibawa ke ranah hukum. Yah, aku memang tak pernah percaya dengan
regulasi hukum di negeri ini.
Akan tetapi, suasana semakin
buruk. Aku berhasil menahan diri dan Putra seperti sudah kesetanan. Kali ini ia
sudah tak sabar lagi menungguku. Ia benar-benar akan menghabisiku!
Ia mengambil ancang-ancang
untuk memukulku. Di saat ia mengayunkan kayu baloknya, tiba-tiba datang seorang
guru yang kebetulan sedang melintas di tempat kami berkelahi. Beliau adalah pak
Uje yang dengan sigap menghentikan ayunan kayu balok Putra dan berhasil
menyelamatkanku dari amukannya.
“Apa-apaan kamu ini?!” teriak
pak Uje.
“Lepasin pak! Saya mau pecahin
kepala anak ini!” balas Putra.
Ia seperti orang kesetanan.
Bahkan ia tak peduli dengan kedatangan pak Uje untuk melerai. Ia tetap
bersikukuh ingin menghajarku.
“Cukup! Masih mau sekolah di
sini gak kamu?!” gertak pak Uje yang mengisyaratkan ancaman akan mengeluarkan
Putra dari sekolah jika ia tetap melanjutkan amukannya.
Rizal, yang masih dapat
menggunakan akal sehatnya segera berusaha ikut menghentikan ketegangan.
“Putra! Udah deh, kita geser
aja lah!” ujar Rizal menengahi konflik.
Akhirnya, Putra pun melepaskan
cengkeramannya dan segera menunggangi motornya lalu melesat pergi meninggalkan
kami. Seketika itu juga sirna ketakutanku. Allah masih menyayangi nyawaku,
meskipun saat itu aku sangat jauh dari-Nya. Namun, aku tak berhenti sampai di
situ. Aku merasa tak terima telah disudutkan oleh Putra. Aku pun segera
berunding dengan Beni untuk balik menghajar Putra. Aku ingin mengakhiri semua
ini.
Setelah kejadian itu, aku
segera mengajak Beni untuk menghampiri salah seorang temanku, Fredi yang
berasal dari sekolah lain. Aku ceritakan kejadian itu, kemudian aku memintanya
mengumpulkan massa dari sekolahnya dan ia pun memenuhi permintaanku. Tak butuh
waktu lama bagi seorang Fredi untuk mengumpulkan massa, ia cukup disegani di
wilayahnya. Alhasil, sekitar 20 motor terkumpul yang rata-rata setiap motornya
mengangkut 3 orang. Kami benar-benar hendak bentrok!
Setelah semua siap, kami
bergerak menuju lapangan kecamatan di mana Putra biasa nongkrong. Setibanya
kami di lapangan, tak ada sosok Putra di sana. Kami memutuskan untuk menantinya
beberapa saat, barangkali sebentar lagi ia akan datang. Akan tetapi setelah
beberapa jam kami tunggu, ia tak kunjung muncul. Akhirnya kami memutuskan untuk
membubarkan diri. Namun Fredi mengatakan dirinya dan orang-orangnya akan tetap
bersiap kapan pun aku membutuhkannya. Hari itu pun berakhir tanpa ada kontak
fisik yang berarti.
Karena pertikaian itu terjadi
pada hari sabtu, maka dua hari kemudian tepatnya hari senin aku dipanggil
menghadap Kepala Sekolah terkait dengan pertikaian tersebut. Awalnya aku
bertanya-tanya, mengapa aku tidak masuk ke ruang BK melainkan langsung ke ruang
Kepala Sekolah? Selain itu, di ruangan itu aku tak hanya menghadap Kepala
Sekolah saja, melainkan para petinggi Sekolah ada di situ termasuk guru BK.
Lebih aneh lagi, kenapa hanya aku yang dipanggil menghadap? Seharusnya Putra
juga ikut menghadap jika memang pemanggilan itu terkait dengan pertikaian kami.
Aku pun diinterogasi
menyangkut kejadian itu. Kuceritakan apa adanya, bahwa aku tak pernah memulai.
Kukatakan bahwa aku sekedar memperhatikannya dari kejauhan. Sampai proses
interogasi selesai, aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga aku dipersilahkan keluar, aku pun segera beranjak sambil tetap berpikir.
Barulah setelah di luar ruangan, aku mulai apriori. Kuputuskan untuk pergi ke
kantor BK untuk melihat catatan kenakalan siswa. Lembar demi lembar kusibakkan
hingga kudapati catatan kenakalan Putra. Benar saja, pihak Sekolah hanya
tinggal butuh satu alasan saja untuk dapat mengeluarkannya dari Sekolah.
Barangkali itu sebabnya penanganan terhadap kasusku ini terbilang khusus dan
krusial. Meskipun semua ini sekedar prasangkaku saja, namun aku sangat yakin
bahwa Sekolahku sedang mencari kesalahan Putra dari kasusku. Pihak Sekolah
nampaknya sudah berniat mendepak anak berandal yang meresahkan itu.
Setelah kututup buku catatan
itu, aku segera mengingat kembali kejadian itu. Prasangka itu menggiringku
untuk ikut mencari kesalahan Putra di dalam kasusku tersebut. Kupelajari ulang
kronologis kejadian dua hari yang lalu dan dari situ aku teringat oleh Riyadi,
temanku yang sempat berbincang dengan Putra sebelum perkelahian itu. Aku
sedikit menyesal karena tidak menyebutkan nama Riyadi di dalam interogasiku
tadi. Akan tetapi aku tak kekurangan akal. Aku sangat yakin bahwa ada
pembicaraan yang tak lazim antara Putra dan Riyadi. Aku tak ingat bahwa Putra
pernah berbicara dengan siswa lain diluar kelompoknya kecuali pembicaraan yang
beresensi negatif. Aku pun segera meluncur mencari temanku yang bernama Riyadi
tersebut untuk mendapatkan klarifikasi.
Setelah menjumpai Riyadi,
langsung ia kutanyai tentang kejadian dua hari yang lalu. Riyadi mengaku
kepadaku bahwa saat itu ia dipalak atau dimintai uang dengan paksa.
“Nah, kenak lo!” hatiku berbisik. Dari keterangan Riyadi tersebut, semakin
jelas bagiku jalan untuk menyingkirkannya. Aku hanya tinggal mengadukannya ke
pihak Sekolah dan ia akan segera hengkang dari Sekolah ini. Namun aku tak ingin
gegabah, aku tak ingin campur tanganku nampak di permukaan. Akan sangat
berbahaya jika aku sendiri yang melaporkan, apalagi mengaitkan dengan kasusku.
Maka dari itu, aku memilih untuk mendesak Riyadi mengadukan kasusnya secara
pribadi dengan judul pemerasan. Dengan demikian namaku bersih dari makarisasi
tersebut. Awalnya ia menolak untuk melapor karena ia merasa kasusnya terlalu
sepele.
“Alaah, gak usah lah bro.
Orang cuman tak kasih dua ribu aja kok, gak gede.” Ujarnya berkilah.
“Bukan masalah dua ribunya
bro, tapi apa lu gak pengen dia dikeluarin aja? Lu seneng dia tetep di sini?
Nyaman lu? Iya?” desakku.
“Iya juga sih. Sebenernya gue
jengkel juga, resah gue kalo kampret itu masih berkeliaran di sini. Tapi gue
takut kalo diteror mad.” Ujarnya.
“Lu tenang aja, gak mungkin
sekolah diem aja. Lu pasti dilindungin. Udah, maju aja, jadilah pahlawan!”
bujukku.
Ia pun akhirnya mengiyakan
bujukanku dan melaporkan kasusnya tersebut. Semua sesuai dengan rencana. Kami
pun tinggal menunggu tindak lanjut dari laporan tersebut.
Alhasil, dua hari berselang,
Putra dipanggil menghadap Kepala Sekolah. Saat itu adalah jam istirahat dan aku
sedang nongkrong di kantin seperti biasa. Aku meminta salah seorang temanku
untuk nongkrong di dekat kantor sekolah guna mengawasi apa yang akan terjadi.
Menurut penuturan temanku, Putra keluar dari kantor dengan raut muka yang
bringas penuh amarah dan dendam. Ia berjalan cepat menuju lapangan parkir,
menjemput sepeda motornya dan segera memacunya dengan ugal-ugalan sambil
berkata, “Awas kamu pak! Kalo anakmu main ke daerah gua, MATI!”
Aku tak melihat dan mendengar
langsung, namun temanku yang mengabarkan kepadaku segera setelah kepergian
Putra yang beriring amarah. Aku hanya tersenyum sinis menanggapi penuturan
temanku itu, sedang dalam hati aku terkekeh bahkan tertawa menang. Akhirnya
sang jawara berhasil disingkirkan tanpa harus mengotori tangan. Memang, aku tak
menumpas orang jahat dengan aksi bela diri yang memukau, atau baku tembak
dengan menggunakan senjata berkaliber elit, memang tak seperti dalam film-film action.
Namun, bagiku ini jauh lebih keren.
Perlu diketahui, kemarahan dan
keberanian adalah dua hal yang sangat halus perbedaannya. Tapi kemarahan tak
akan pernah melukiskan wajahmu di atas kanvas kebenaran, sedang keberanian
adalah kehormatan. Catatanku menyimpulkan, aku dapat lolos dari kontak fisik
yang ia kobarkan dan aku pun terhindar dari serangannya kepada bagian lemahku.
Di dalamnya terdapat perang psikologis yang berhasil kuatasi. Setelahnya,
kubalas ia dengan makar tanpa ia menyadari. Sungguh, bukan kepanikan dan
ketergesa-gesaan yang menyelamatkanku, melainkan jalan strategis yang diberikan
Allah untuk menolongku.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar