Minggu, 17 Juli 2016

Di Bawah Panji Kuning #2

Sang Jawara

Premanisme, itulah yang telah menjelma menjadi budaya negeri ini. Entah bagaimana mendeskripsikannya, hampir tak satupun elemen di negeri ini yang luput darinya tak terkecuali lingkungan sekolah. Dari budaya premanisme dan brandalisme inilah muncul istilah bully yang berujung pada pencitraan sekolah sebagai tempat angker yang menimbulkan rasa tak nyaman bagi penghuninya. Belum lagi stasiun-stasiun televisi yang justru dengan masif mengkampanye-kannya melalui sinetron-sinetron andalannya. Yang mengherankan adalah program-program yang demikian ini yang justru menarik per-hatian masyarakat. Padahal komposisi antara aspek hiburan dan pesan moralnya sangat tidak proporsional.

Setelah pekan orientasi selesai, aku menjalani hari-hariku di sekolah seperti biasa. Semua terasa baik-baik saja. Tak sulit untuk menghafal nama-nama teman sekelasku karena jumlah kami sangat sedikit. Sedangkan untuk teman-teman selain teman sekelasku, aku sudah mengenal mereka dari sebelum aku masuk SMA.

Hingga dua pekan pasca masa orientasi, aku sangat menikmati hari-hariku. Semua orang bersikap ramah kepadaku. Mungkin karena aku anak kepala sekolah jadi mereka tak mau mencari masalah denganku. Hingga pekan ketiga, muncullah sekelompok siswa yang tidak diharapkan kehadirannya oleh siapapun. Mereka bukan murid baru, aku pun sudah mengenal mereka sebelum aku masuk SMA. Mereka juga sejatinya telah mengenalku, hanya saja aku yakin cara mereka memperlakukanku akan sangat berbeda dari orang lain. Merekalah para berandalan sekolah kami. Kehadiran mereka senantiasa diiringi kekhawatiran dan ketakutan bagi seluruh warga sekolah. Mereka sendiri juga menyadari hal ini, hingga mereka dengan bangga menyebut diri mereka sebagai teroris sekolah. Yah, tentunya sematan itu sangat pantas bagi mereka. Kami lebih senang jika mereka tidak masuk atau membolos sekolah. Pasalnya kehadiran mereka di sekolah hanya membuat kami tambah tidak betah berada di sekolah. Aku sendiri sering gelisah jika melihat mereka. Jantungku kerap berdetak sangat kencang seiring kehadiran mereka di sekolah. Sebisa mungkin aku tidak berinteraksi dengan mereka sebelum aku benar-benar siap.

Teroris sekolah ini terdiri dari empat orang berandalan. Mereka adalah Putra, Herly, Andi, dan Rizal. Herly, Rizal dan Andi adalah murid kelas dua belas, pada dasarnya mereka tidak seberandal Putra yang masih duduk di kelas sebelas. Herly, Rizal, dan Andi menyadari posisinya yang sudah di pucuk karir SMAnya. Sedangkan Putra, dia sudah lebih dari dua kali dikeluarkan dari sekolah dan berakhir di sekolahku ini. Sejatinya pihak sekolahku sudah me-ngetahui riwayat kenakalannya yang sampai berkali-kali dikeluarkan dari sekolah, namun mau bagaimana lagi? Sekolah kami juga butuh murid. Sungguh menyesakkan melihat kenyataan bahwa untuk tetap berdiri, sekolahku harus mengemis perhatian serta dengan nekadnya menerima para berandalan. Selain itu, sekolah kami bukan Hogwarts yang bisa menyulap berandalan menjadi ulama. Kredibilitas sekolah kami tidak cukup. Sekolah kami hanyalah sekolah biasa yang butuh proteksi jika memang negeri ini peduli dengan pendidikan.

Aku sadar betul jika kelak aku akan menghadapi para beran-dalan ini, sehingga aku telah jauh-jauh hari mempersiapkan makar untuk menyingkirkan mereka. Aku tak ingin terlihat bodoh di tempat-ku sendiri. Meskipun kujalani awal karir SMA ku dengan aura pesimistis, aku tak mau kehadiran mereka memperkeruh riwayat hidupku di SMA. Walaupun kedengarannya mustahil untuk seperti anak-anak lain yang punya masa indah di sekolah, namun setidaknya milikku tak sampai lebih buruk.

Suatu hari, aku sedang nongkrong di luar pagar sekolah tepatnya di samping gerbang sekolah bersama Beni. Saat itu adalah jam istirahat. Dikejauhan kulihat Putra dan Rizal dengan angkuhnya berjalan mendekati Riyadi, teman sekelasku. Mereka terlihat berbincang-bincang cukup lama. Sekejap aku bertanya-tanya tentang apa yang mereka bicarakan. Namun aku yakin topik yang mereka bincangkan bukanlah topik yang mengasyikkan. Itu karena Putra tidak biasa akrab dengan siwa yang lain selain orang-orangnya sendiri.

Aku terus memperhatikannya sampai seketika mereka menghentikan perbincangan tersebut. Putra terlihat pergi meninggalkan Riyadi dengan ekspresi kekesalan yang tampak pada perawakannya yang memang sudah terlihat sangar itu. Ia berjalan ke arah parkiran, ia menaiki sepeda motornya dan melesat pergi. Aku berprasangka ia akan membolos hari itu bersama Rizal. Ia menunggangi motornya dan melaju ke arah keluar sekolah. Di dalam hatiku seketika merasa lega karena seperti yang kukatakan tadi, sekolah terasa lebih tentram tanpa kehadirannya. Aku terus mengawasinya hingga ia melewati aku dan Beni yang sedang nongkrong di dekat gerbang sekolah. “Syukurlah!” gumamku.

 Sayangnya, hanya sekejap saja aku menikmati ketenangan itu. Pasalnya, setelah mengendarai motornya sejauh ±50 meter, Putra dan Rizal tiba-tiba memutar arah dan berbalik menuju ke arahku. Sial! Seketika itu juga timbul rasa khawatir di benakku. Di sisi lain aku juga bertanya-tanya, mau apa mereka menghampiriku? Apakah mereka bermaksud mengajakku nongkrong bersama mereka? Tapi jika kulihat dari ekspresi wajah Putra yang penuh dengan kekesalan, sepertinya ia sedang tidak ingin bersahabat kali ini.

Benar saja, ia menghentikan laju motornya di dekatku seraya melemparkan tatapan penuh kebencian ke arahku. Cuaca hatiku yang semula normal-normal saja, seketika berubah menjadi kelam seolah awan gelap tiba-tiba menghampiriku. Ia menantangku duel saat itu dan seketika hari itu menjadi hari yang sangat mendebarkan bagiku.

“Ngapain lu liat-liat gua? Gak seneng lu?” teriak Putra yang sedang berusaha membangun konflik di antara kami.

“Ih, siapa yang ngeliatin elu sih?” jawabku sewot.

“Alaaah, gak usah banyak bacot lu! Gua tau elu dari tadi ngeliatin gua. Ngajak duel tah?” katanynya, menggertak.

Sial! Rupanya ia sadar jika sedari tadi aku mengawasinya. Matilah aku jika aku menghadapinya saat itu juga. Ini bukanlah pertarungan yang aku harapkan. Aku benar-benar belum siap hari itu.

“Lah? Pede bener sih lu? Orang gua dari tadi cuman nongkrong diem doang kok.” Ujarku, mengelak.

“Alaah, udah lah! Kebanyakan omong lu ini. Udah, kita duel aja sekarang! Ayok ikut gua di lapangan kecamatan! Duel kita di sana” uajarnya yang semakin gencar menantangku.

Aku paham betul jika Putra bukanlah tipe orang yang cukup berani untuk berdual satu lawan satu. Sudah pasti ia akan memanggil sekutu-sekutunya untuk datang mengeroyokku. Hal itu terbukti ketika ia menentukan tempat duel, yakni di lapangan kecamatan dimana di sanalah tempat teman-temannya biasa nongkrong. Aku tidak akan sebodoh itu menurutinya. Sebisa mungkin aku harus menghindar dari pertarungan itu dan menyingkirkannya di kemudian hari.

“Loh? Ngapain jauh-jauh ke lapangan kecamatan? Kalo emang lu mau duel, ayok di sini aja!” ujarku, balik menggertak.

“Ah, gak! Di sini kan wilayah elu, temen lu banyak di sini. Udah, ayok kita duel di lapangan aja!” katanya, mendesakku.

“Nah? Kan elu jawara? Apa masalahnya kalo duel di wilayah orang? Lagian gua gak kayak elu ya, senengnya keroyokan. Lu pikir gua begok? Elu ngajak ke lapangan kecamatan biar lu bisa manggil temen-temen lu kan?” sangkalku.

Percekcokan itu tak sekedar pelampiasan emosi semata, namun selalu terdapat tindakan-tindakan strategis di setiap ujaran-ujaran yang terlontar dari mulut kami. Itu sebabnya aku harus berusah memilah kata-kata yang akan kuucapkan sembari memahami setiap perkataan yang ia lontarkan. Hal ini supaya aku tidak terprovokasi oleh gencarnya tantangan yang ia berikan. Percekcokan semacam ini bukanlah sekedar adu mulut semata, namun juga merupakan sebuah pertarungan psikologi.

“Ati-ati ya lu kalo ngomong! Gua gak akan menggil temen-temen gua cuman buat ngadepin elu. Udah lah! Kebanyakan omong lu ini. Gua tunggu lu di lapangan kecamatan, kita duel di sana satu lawan satu!” ucapnya sambil menghidupkan mesin motornya.

Setelah berujar demikian, ia kemudia berlalu dari hadapanku. Pertengkaranku dengan Putra hari itu benar-benar panas. Sedangkan Beni hanya diam tanpa melakukan manuver apa-apa. Bukan berarti ia tak mau membantuku, tapi dia hanya sadar jika aku sebenarnya ingin menghindari pertengkaran itu. Oleh karena itu, ia berusaha untuk tidak memperkeruh suasana. Adapun Rizal, ia juga hanya diam di atas motor tanpa melakukan tindakan. Aku ragu akan motivnya untuk sekedar berdiam diri, namun bisa jadi dia juga tidak menginginkan adanya pertarungan itu. Ia sadar besarnya resiko yang akan ia hadapi jika berurusan denganku.

Awalnya aku merasa aman setelah mereka berlalu. Namun sesaat saja kedamaian dan ketenangan kurasakan. Tak lama kesemuanya itu runtuh berserakan seiring aku melihat Putra dan Rizal kembali lagi. Kali ini jauh lebih ekstrim. Putra kembali dengan membawa sebatang kayu balok dan sepertinya kali ini ia sudah benar-benar kehilangan kesabaran. Nampaknya kali ini ia benar-benar akan segera menghabisiku di tempat. Ia memberhentikan sepeda motornya lalu kemudian ia turun dan menyeretku ke sudut bangunan. Tangan kirinya mencekik kerah bajuku, sedangkan tangan kanannya memegang kayu balok yang siap disasarkan kepadaku kapan saja. Saat itu jantungku berdebar kencang, aku dapat mendengarnya. Ia tak ubahnya seperti suara kereta api. “Mati aku!” gumamku.

Di saat tersudut seperti itu Beni tak bisa berbuat apa-apa, pun dengan Rizal. Putra semakin keras menggertakku. Ia memerintahkan Rizal untuk menyalakan mesin motornya supaya ia bisa segera kabur setelah menghabisiku. Jantungku terasa mau meledak setelah ia memukulkan kayu baloknya ke tembok hingga patah. Meskipun demikian, aku sadar betul bahwa ia tidak akan dengan ceroboh memukulku. Ia memukulkan kayu baloknya ke tembok hanya sekedar menggertakku dan menakut-menakutiku. Ia berniat memprovokasiku untuk memukulnya duluan. Itulah yang sebenarnya ia harapkan. Jika kulakukan, maka habislah aku. Aku akan kalah dan dinyatakan bersalah jika masalah itu dibawa ke ranah hukum. Yah, aku memang tak pernah percaya dengan regulasi hukum di negeri ini.

Akan tetapi, suasana semakin buruk. Aku berhasil menahan diri dan Putra seperti sudah kesetanan. Kali ini ia sudah tak sabar lagi menungguku. Ia benar-benar akan menghabisiku!

Ia mengambil ancang-ancang untuk memukulku. Di saat ia mengayunkan kayu baloknya, tiba-tiba datang seorang guru yang kebetulan sedang melintas di tempat kami berkelahi. Beliau adalah pak Uje yang dengan sigap menghentikan ayunan kayu balok Putra dan berhasil menyelamatkanku dari amukannya.

“Apa-apaan kamu ini?!” teriak pak Uje.

“Lepasin pak! Saya mau pecahin kepala anak ini!” balas Putra.

Ia seperti orang kesetanan. Bahkan ia tak peduli dengan kedatangan pak Uje untuk melerai. Ia tetap bersikukuh ingin menghajarku.

“Cukup! Masih mau sekolah di sini gak kamu?!” gertak pak Uje yang mengisyaratkan ancaman akan mengeluarkan Putra dari sekolah jika ia tetap melanjutkan amukannya.

Rizal, yang masih dapat menggunakan akal sehatnya segera berusaha ikut menghentikan ketegangan.

“Putra! Udah deh, kita geser aja lah!” ujar Rizal menengahi konflik.

Akhirnya, Putra pun melepaskan cengkeramannya dan segera menunggangi motornya lalu melesat pergi meninggalkan kami. Seketika itu juga sirna ketakutanku. Allah masih menyayangi nyawaku, meskipun saat itu aku sangat jauh dari-Nya. Namun, aku tak berhenti sampai di situ. Aku merasa tak terima telah disudutkan oleh Putra. Aku pun segera berunding dengan Beni untuk balik menghajar Putra. Aku ingin mengakhiri semua ini.

Setelah kejadian itu, aku segera mengajak Beni untuk menghampiri salah seorang temanku, Fredi yang berasal dari sekolah lain. Aku ceritakan kejadian itu, kemudian aku memintanya mengumpulkan massa dari sekolahnya dan ia pun memenuhi permintaanku. Tak butuh waktu lama bagi seorang Fredi untuk mengumpulkan massa, ia cukup disegani di wilayahnya. Alhasil, sekitar 20 motor terkumpul yang rata-rata setiap motornya mengangkut 3 orang. Kami benar-benar hendak bentrok!

Setelah semua siap, kami bergerak menuju lapangan kecamatan di mana Putra biasa nongkrong. Setibanya kami di lapangan, tak ada sosok Putra di sana. Kami memutuskan untuk menantinya beberapa saat, barangkali sebentar lagi ia akan datang. Akan tetapi setelah beberapa jam kami tunggu, ia tak kunjung muncul. Akhirnya kami memutuskan untuk membubarkan diri. Namun Fredi mengatakan dirinya dan orang-orangnya akan tetap bersiap kapan pun aku membutuhkannya. Hari itu pun berakhir tanpa ada kontak fisik yang berarti.

Karena pertikaian itu terjadi pada hari sabtu, maka dua hari kemudian tepatnya hari senin aku dipanggil menghadap Kepala Sekolah terkait dengan pertikaian tersebut. Awalnya aku bertanya-tanya, mengapa aku tidak masuk ke ruang BK melainkan langsung ke ruang Kepala Sekolah? Selain itu, di ruangan itu aku tak hanya menghadap Kepala Sekolah saja, melainkan para petinggi Sekolah ada di situ termasuk guru BK. Lebih aneh lagi, kenapa hanya aku yang dipanggil menghadap? Seharusnya Putra juga ikut menghadap jika memang pemanggilan itu terkait dengan pertikaian kami.

Aku pun diinterogasi menyangkut kejadian itu. Kuceritakan apa adanya, bahwa aku tak pernah memulai. Kukatakan bahwa aku sekedar memperhatikannya dari kejauhan. Sampai proses interogasi selesai, aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Hingga aku dipersilahkan keluar, aku pun segera beranjak sambil tetap berpikir. Barulah setelah di luar ruangan, aku mulai apriori. Kuputuskan untuk pergi ke kantor BK untuk melihat catatan kenakalan siswa. Lembar demi lembar kusibakkan hingga kudapati catatan kenakalan Putra. Benar saja, pihak Sekolah hanya tinggal butuh satu alasan saja untuk dapat mengeluarkannya dari Sekolah. Barangkali itu sebabnya penanganan terhadap kasusku ini terbilang khusus dan krusial. Meskipun semua ini sekedar prasangkaku saja, namun aku sangat yakin bahwa Sekolahku sedang mencari kesalahan Putra dari kasusku. Pihak Sekolah nampaknya sudah berniat mendepak anak berandal yang meresahkan itu.

Setelah kututup buku catatan itu, aku segera mengingat kembali kejadian itu. Prasangka itu menggiringku untuk ikut mencari kesalahan Putra di dalam kasusku tersebut. Kupelajari ulang kronologis kejadian dua hari yang lalu dan dari situ aku teringat oleh Riyadi, temanku yang sempat berbincang dengan Putra sebelum perkelahian itu. Aku sedikit menyesal karena tidak menyebutkan nama Riyadi di dalam interogasiku tadi. Akan tetapi aku tak kekurangan akal. Aku sangat yakin bahwa ada pembicaraan yang tak lazim antara Putra dan Riyadi. Aku tak ingat bahwa Putra pernah berbicara dengan siswa lain diluar kelompoknya kecuali pembicaraan yang beresensi negatif. Aku pun segera meluncur mencari temanku yang bernama Riyadi tersebut untuk mendapatkan klarifikasi.

Setelah menjumpai Riyadi, langsung ia kutanyai tentang kejadian dua hari yang lalu. Riyadi mengaku kepadaku bahwa saat itu ia dipalak atau dimintai uang dengan paksa. “Nah, kenak lo!” hatiku berbisik. Dari keterangan Riyadi tersebut, semakin jelas bagiku jalan untuk menyingkirkannya. Aku hanya tinggal mengadukannya ke pihak Sekolah dan ia akan segera hengkang dari Sekolah ini. Namun aku tak ingin gegabah, aku tak ingin campur tanganku nampak di permukaan. Akan sangat berbahaya jika aku sendiri yang melaporkan, apalagi mengaitkan dengan kasusku. Maka dari itu, aku memilih untuk mendesak Riyadi mengadukan kasusnya secara pribadi dengan judul pemerasan. Dengan demikian namaku bersih dari makarisasi tersebut. Awalnya ia menolak untuk melapor karena ia merasa kasusnya terlalu sepele.

“Alaah, gak usah lah bro. Orang cuman tak kasih dua ribu aja kok, gak gede.” Ujarnya berkilah.

“Bukan masalah dua ribunya bro, tapi apa lu gak pengen dia dikeluarin aja? Lu seneng dia tetep di sini? Nyaman lu? Iya?” desakku.

“Iya juga sih. Sebenernya gue jengkel juga, resah gue kalo kampret itu masih berkeliaran di sini. Tapi gue takut kalo diteror mad.” Ujarnya.

“Lu tenang aja, gak mungkin sekolah diem aja. Lu pasti dilindungin. Udah, maju aja, jadilah pahlawan!” bujukku.

Ia pun akhirnya mengiyakan bujukanku dan melaporkan kasusnya tersebut. Semua sesuai dengan rencana. Kami pun tinggal menunggu tindak lanjut dari laporan tersebut.

Alhasil, dua hari berselang, Putra dipanggil menghadap Kepala Sekolah. Saat itu adalah jam istirahat dan aku sedang nongkrong di kantin seperti biasa. Aku meminta salah seorang temanku untuk nongkrong di dekat kantor sekolah guna mengawasi apa yang akan terjadi. Menurut penuturan temanku, Putra keluar dari kantor dengan raut muka yang bringas penuh amarah dan dendam. Ia berjalan cepat menuju lapangan parkir, menjemput sepeda motornya dan segera memacunya dengan ugal-ugalan sambil berkata, “Awas kamu pak! Kalo anakmu main ke daerah gua, MATI!”

Aku tak melihat dan mendengar langsung, namun temanku yang mengabarkan kepadaku segera setelah kepergian Putra yang beriring amarah. Aku hanya tersenyum sinis menanggapi penuturan temanku itu, sedang dalam hati aku terkekeh bahkan tertawa menang. Akhirnya sang jawara berhasil disingkirkan tanpa harus mengotori tangan. Memang, aku tak menumpas orang jahat dengan aksi bela diri yang memukau, atau baku tembak dengan menggunakan senjata berkaliber elit, memang tak seperti dalam film-film action. Namun, bagiku ini jauh lebih keren.


Perlu diketahui, kemarahan dan keberanian adalah dua hal yang sangat halus perbedaannya. Tapi kemarahan tak akan pernah melukiskan wajahmu di atas kanvas kebenaran, sedang keberanian adalah kehormatan. Catatanku menyimpulkan, aku dapat lolos dari kontak fisik yang ia kobarkan dan aku pun terhindar dari serangannya kepada bagian lemahku. Di dalamnya terdapat perang psikologis yang berhasil kuatasi. Setelahnya, kubalas ia dengan makar tanpa ia menyadari. Sungguh, bukan kepanikan dan ketergesa-gesaan yang menyelamatkanku, melainkan jalan strategis yang diberikan Allah untuk menolongku.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar