![]() |
Picture by: https://i.ytimg.com/vi/GuBeQu2NSIg/maxresdefault.jpg |
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik, dia di antara anak
Ka’ab yang menjadi penuntun Ka’ab ketika telah buta. Ia berkata, “Aku mendengar
Ka’ab bin Malik bercerita tentang kisah Tabuk ketika ia tidak ikut berperang,
ia berkata: Aku tidaklah meninggalkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
di peperangan apa pun selain perang Tabuk, namun aku pernah tidak ikut pula
perang Badar, tetapi Beliau tidak mencela orang yang meninggalkannya, hal itu
karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk mendatangi kafilah
(dagang) Quraisy, namun akhirnya Allah mengumpulkan mereka dengan musuhnya
tanpa perjanjian terlebih dahulu. Aku hadir bersama Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam di malam ‘Aqabah ketika Beliau membai’at kami di atas Islam,
dan aku tidak suka jika ada pengganti (yang melebihi) malam ‘Aqabah, yaitu
perang Badar (menurutnya malam ‘Aqabah lebih afdhal daripada perang Badar),
meskipun perang Badar lebih dikenang oleh manusia daripada malam ‘Aqabah.
Cerita
saya, bahwa saya tidaklah pernah lebih kuat dan lebih lapang daripada keadaan
ketika saya meninggalkan perang itu. Demi Allah, sesungguhnya sebelum itu tidak
ada dua kendaraan sama sekali, hingga saya berhasil mengumpulkan keduanya pada
perang itu. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa Beliau tidaklah hendak berperang kecuali menampakkan yang lain, termasuk
dalam peperangan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat di
waktu yang sangat panas, menuju perjalanan yang jauh, padang pasir dan musuh
yang banyak. Maka Beliau menerangkan kepada kaum muslimin hal yang sesungguhnya
agar mereka mempersiapkan perlengkapan untuk perang itu dan memberitahukan arah
mana yang hendak Beliau tuju. Kaum muslimin yang bersama Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam jumlahnya banyak, dan mereka tidak terdaftar dalam buku
induk. Ka’ab berkata, “Oleh karena itu, tidak ada yang ingin absen kecuali dia
menduga bahwa yang demikian akan tersembunyi bagi Beliau, selama tidak turun
wahyu Allah terhadapnya.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pergi berperang
ketika buah-buah matang dan pohonnya rindang, maka bersiap-siaplah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kaum muslimin yang bersamanya. Aku pun pergi untuk ikut bersiap-siap bersama mereka, aku
pulang, namun tidak melakukan apa-apa, maka aku berkata dalam hati, “Saya mampu
melakukannya.” Hal itu berlangsung terus hingga mereka semakin siap, maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin berangkat sedangkan
saya belum mempersiapkan apa-apa,” aku pun berkata, “Saya akan bersap-siap
setelahnya sehari atau dua hari kemudian menyusul mereka.” Maka saya pergi
setelah mereka jauh untuk bersiap-siap, saya pulang namun tidak melakukan
apa-apa. Saya pergi lagi dan kembali namun belum melakukan apa-apa, dan terus
menerus seperti itu sampai mereka semakin cepat
dan (saya) ketinggalan perang.
Saya
ingin berangkat dan menyusul mereka. Duhai, andai saja saya melakukannya, namun
tidak ditakdirkan buat saya, sehingga ketika saya keluar kepada
orang-orang setelah kepergian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
saya berkeliling di antara mereka, saya pun bersedih karena tidak melihat orang
selain orang yang tercela karena kemunafikannya atau orang yang diberi uzur
oleh Allah dari kalangan kaum dhu’afa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak menyebutku sampai tiba di Tabuk. Beliau pun bersabda ketika duduk di
tengah-tengah manusia di Tabuk, “Apa yang dilakukan Ka’ab?” Maka seorang dari
Bani Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, ia tertahan oleh kedua burdahnya dan
melihat sisi tubuhnya.” Mu’adz bin Jabal berkata, “Buruk sekali apa yang kamu
katakan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui tentangnya selain
kebaikan.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam.
Ka’ab
bin Malik berkata, “Ketika sampai berita kepadaku, bahwa Beliau sedang kembali
pulang, maka aku pun bersedih. Aku mulai berpikir tentang berdusta dan berkata
(dalam hati), “Bagaimana caranya agar aku dapat lolos dari kemarahan Beliau
besok? Aku pun meminta bantuan untuk itu kepada keluargaku yang berpengalaman.
Namun ketika disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menjelang tiba, maka hilanglah (pikiran) batil dariku, dan saya mengetahui
bahwa saya tidak dapat lolos selamanya dengan sesuatu yang di sana terdapat
dusta, maka saya bertekad untuk jujur. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
kemudian datang, dan Beliau biasanya apabila pulang dari safar, pergi ke
masjid, lalu shalat di sana dua rak’at, kemudian duduk di hadapan manusia.
Ketika Beliau sedang seperti itu, maka orang-orang yang tidak ikut berperang
datang, dan mulai mengemukakan uzurnya serta bersumpah. Jumlah mereka ada
delapan puluh orang lebih, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menerima lahiriah mereka, membai’at mereka dan memintakan ampunan untuk mereka,
serta menyerahkan rahasia mereka kepada Allah.
Aku
pun datang dan mengucapkan salam kepadanya, maka Beliau tersenyum dengan
senyuman orang yang marah. Beliau bersabda, “Kemari!” maka aku pun datang
sambil berjalan dan duduk di hadapannya, dan bersabda kepadaku, “Apa yang
membuatmu tertinggal? Bukankah kamu telah membeli kendaraanmu?” Aku menjawab,
“Ya. Sesungguhnya aku demi Allah, jika aku duduk pada selain dirimu di antara
penduduk dunia, aku yakin dapat lolos dari kemarahannya dengan suatu alasan.
Aku telah diberi kelebihan berdebat, akan tetapi demi Allah, aku tahu bahwa
jika aku menyampaikan kata-kata dusta pada hari ini kepadamu yang membuatmu
ridha dengannya, tentu Allah akan menjadikan engkau marah kepadaku. Namun jika
aku menyampaikan kata-kata jujur, maka engkau akan marah kepadaku. Sesungguhnya
aku berharap ampunan dari Allah dengan kejujuran itu. Demi Allah, aku tidak
memiliki uzur. Demi Allah, aku tidaklah lebih kuat dan lebih lapang daripada
keadaan ketika aku meninggalkanmu.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Adapun orang ini, maka dia benar. Bangunlah sampai Allah memberikan
keputusan terhadapmu.”
Aku
pun berdiri dan beberapa orang Bani Salamah bangkit mengikutiku. Mereka berkata
kepadaku, “Demi Allah, kami tidak mengetahui kamu melakukan dosa sebelum ini,
ternyata kamu tidak berani mengajukan uzur kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam seperti uzur yang diajukan oleh orang-orang yang tertinggal
lainnya (kaum munafik). Padahal cukup bagi dosamu permohonan ampunan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam untukmu.” Demi Allah, mereka senantiasa mencelaku
sampai aku ingin kembali dan berkata dusta. Lalu aku berkata kepada mereka,
“Apakah ada orang yang mengalami seperti diriku?” Mereka menjawab, “Ya. Ada dua
orang yang berkata seperti yang kamu ucapkan, kemudian dikatakan kepada
keduanya seperti yang dikatakan kepadamu.” Aku pun berkata, “Siapa keduanya?”
Mereka menjawab, “Muraarah bin Ar Rabii’ Al ‘Amriy dan Hilal bin Umayyah Al
Waaqifiy.” Ternyata mereka menyebutkan kepadaku dua laki-laki saleh yang ikut
perang Badar, di mana pada keduanya ada keteladanan. Maka aku pun tetap
berjalan, ketika mereka menyebutkan kedua orang itu kepadaku. Kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami
bertiga dari sekian banyak orang yang tertinggal dari perang.”
Manusia pun menjauhi kami dan berubah sikap kepada kami,
sehingga berubah pula bumi dalam diriku, yang mana bumi yang aku kenal, kami
tetap seperti itu selama lima puluh malam. Sedangkan
kedua teman saya, mereka merasa hina dan duduk di rumahnya sambil menangis.
Adapun saya, maka saya adalah orang yang paling muda di antara mereka dan
paling kuat. Aku keluar, ikut shalat bersama kaum muslimin, dan berkeliling di
pasar, namun tidak ada yang mau berbicara denganku. Aku mendatangi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan salam kepadanya, sedangkan Beliau
berada di tempat duduknya setelah shalat. Aku berkata dalam hati, “Apakah
Beliau akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak? Lalu saya
shalat dekat dengan Beliau, sambil mencuri pandang kepada Beliau. Ketika saya
memasuki shalat, maka Beliau memandangku. Namun ketika aku menoleh ke arahnya,
maka Beliau berpaling dariku. Sehingga ketika ketidakramahan dari manusia
berlangsung lama padaku, aku pun berjalan dan menaiki tembok Abu Qatadah, dia
adalah putera pamanku dan manusia yang paling saya cintai. Aku pun mengucapkan
salam kepadanya. Demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Aku pun berkata,
“Wahai Abu Qatadah, saya bertanya kepadamu dengan nama Allah, tahukah kamu
bahwa aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya? Ia pun diam, dan aku mengulangi
lagi dan bertanya kepadanya sambil bersumpah, namun ia tetap diam.” Ia pun
berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka mengalirlah kedua mataku
dan aku pun berpaling hingga aku memanjat tembok.
Ketika saya berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada
seorang petani dari petani penduduk Syam yang datang membawa makanan yang ia
jual di Madinah, ia berkata, “Siapa yang mau menunjukkanku kepada Ka’ab bin
Malik?” Orang-orang segera memberi
isyarat kepadanya (yakni kepadaku). Ketika ia datang kepadaku, ia menyerahkan
surat dari raja Ghassan, dan ternyata isinya, “Amma ba’du, sesungguhnya telah
sampai berita kepadaku, bahwa kawanmu telah bersikap kasar kepadamu, dan Allah
tentu tidak akan menjadikanmu berada di negeri hina, juga tidak tersia-sia.
Maka bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu.” Setelah membacanya, aku
berkata, “Ini termasuk cobaan.” Aku pun pergi ke dapur, lalu aku bakar surat
itu dengannya.
Hingga ketika telah berlalu 40 malam dari 50 malam,
tiba-tiba utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepadaku dan
berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
kamu menjauhi istrimu.” Aku pun berkata,
“Apakah aku talak? Atau apa yang harus aku lakukan?” Ia berkata, “Jauhi saja
dan jangan dekati.” Beliau juga mengutus kepada kedua kawanku seperti itu. Aku
pun berkata kepada istriku, “Kembalilah kepada keluargamu sehingga kamu tinggal
bersama mereka sampai Allah menyelesaikan masalah ini.” Ka’ab berkata, “Lalu
istri Hilal bin Umayyah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah orang
yang sudah tua lagi tidak punya apa-apa, ia tidak punya lagi pelayannya, apakah
engkau tidak suka kalau aku melayaninya?” Beliau menjawab, “Bukan begitu,
tetapi jangan sampai ia mendekatimu.” Istrinya berkata, “Demi Allah,
sesungguhnya ia tidak pernah bergerak kepada sesuatu. Demi Allah ia senantiasa
menangis sejak hari itu hingga hari ini.” Lalu sebagian keluargaku berkata
kepadaku, “Kalau sekiranya engkau meminta izin kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tentang istrimu sebagaimana Beliau mengizinkan kepada istri
Hilal bin Umayyah untuk melayaninya?” Aku pun berkata, “Demi Allah, aku tidak
akan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan aku
tidak tahu apa yang dikatakan nanti oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika aku meminta izin kepadanya, sedangkan saya seorang pemuda?” Maka
setelah itu, saya tetap seperti itu sampai sepuluh malam sehingga genaplah lima
puluh malam dari sejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
berbicara dengan kami.
Ketika
aku shalat Subuh pada malam yang kelima puluh, sedangkan aku berada di salah
satu atap rumah kami. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan
Allah itu, di mana diriku telah terasa sempit, dan bumi yang luas pun menjadi
sempit bagiku, aku pun mendengar suara keras orang yang berteriak yang muncul
dari atas gunung Sala’, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.” Maka aku pun
tersungkur sujud, dan aku mengetahui bahwa kelegaan telah datang, kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan tobat dari Allah kepada kami
ketika telah selesai shalat Subuh. Lalu orang-orang datang memberi kabar
gembira kepada kami, dan datang pula orang-orang memberi kabar gembira kepada
dua sahabatku. Ada seseorang yang memacu kudanya dengan cepat kepadaku, dan ada
lagi orang yang berlari kencang menujuku dari Bani Aslam, dia naik ke atas
gunung, dan suara itu lebih cepat daripada kuda. Ketika telah datang kepadaku
orang yang aku dengar suaranya memberi kabar gembira kepadaku, aku pun melepas
kedua pakaianku dan memakaikan kepadanya karena kabar gembiranya. Demi Allah,
padahal ketika itu aku tidak memiliki selainnya.
Aku
pun meminjam dua baju, dan aku pakai. Aku pun pergi kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu orang-orang mendatangiku secara
berbondong-bondong, mereka mengucapkan selamat atas
tobat saya. Mereka berkata, “Semoga tobat Allah membahagiakanmu.” Aku pun masuk
ke masjid, tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk
dengan dikerumuni manusia. Lalu Thalhah bin Ubaidillah berjalan cepat,
menyalamiku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada seorang pun
dari kaum muhajirin yang bangkit kepadaku selainnya, dan aku tidak pernah
melupakannya untuk Thalhah. Ka’ab melanjutkan kata-katanya, “Ketika aku
mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku dalam keadaan mukanya
berseri-seri karena senang, “Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah
melewati hidupmu sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.” Aku pun bertanya, “Apakah
dari sisimu wahai Rasulullah ataukah dari sisi Allah?” Beliau menjawab, “Tidak,
bahkan dari sisi Allah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila
senang, mukanya berseri-seri sehingga seperti satu potong rembulan, dan kami
mengenali yang demikian dari Beliau. Ketika aku duduk di depannya, aku berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara tobatku adalah saya akan mengeluarkan
sedekah kepada Allah dan kepada Rasulullah dari harta saya.” Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tahanlah sebagian hartamu, yang
demikian lebih baik bagimu.” Aku pun berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian
saya yang ada di Khaibar.” Saya juga berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Allah menyelamatkanku karena kejujuran, dan termasuk (kesempurnaan) tobat saya
adalah saya tidak berbicara kecuali benar selama aku masih hidup.”
Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun dari kaum
muslimin yang diberi nikmat oleh Allah tentang kejujuran bicara sejak aku
sebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih
baik dari nikmat yang diberikan-Nya kepadaku. Sejak
aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam aku tidak
pernah sengaja berdusta sampai hari ini. Saya pun berharap kepada Allah agar
Dia menjaga saya selama saya masih hidup, dan Allah pun menurunkan ayat kepada
Rasul-Nya, “Laqad taaballahu ‘alan nabiyyi wal muhaajiriin…dst. Sampai ayat,
“Wa kuunuu ma’ash shaadiqiin.” Demi Allah, Allah tidaklah memberi nikmat
kepadaku suatu nikmat yang lebih besar setelah aku ditunjuki-Nya kepada Islam
daripada kejujuranku kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana
aku tidak berdusta kepadanya, yang membuatku binasa sebagaimana orang-orang
yang berdusta binasa. Sesungguhnya Allah berfirman kepada mereka yang berdusta
ketika Dia menurunkan wahyu dengan seburuk-buruk ucapan yang difirmankan-Nya
kepada seseorang, “Sayahlifuuna billahi lakum idzanqalabtum ilaihim…dst. Sampai
Fa innallaha laa yardhaa ‘anil qaumil faasiqiin.” Ka’ab berkata, “Kami bertiga
ditangguhkan dari perkara orang-orang yang telah diterima oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka berani bersumpah kepada Beliau.
Beliau membai’at mereka, memintakan ampunan dan menangguhkan urusan kami
sehingga Allah memutuskannya. Oleh karena itulah, Allah berfirman, “Wa ‘alats
tsalaatsatilladziina khullifuu…dst.” Dan yang disebutkan Allah itu bukan
ketertinggalan kami dari peperangan, tetapi penangguhan oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam kepada kami dan pengakhiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadap urusan kami dari orang-orang yang telah bersumpah serta mengajukan
uzurnya kepada Beliau dan Beliau telah menerimanya.” (HR. Bukhari)
Rahmat-Nya
senantiasa mengucur kepada semua hamba di setiap waktu, setiap saat dan di
setiap detik, di mana dengannya urusan agama dan dunia mereka menjadi tegak.
Ayat ini menunjukkan beberapa hal berikut:
- Tobat dari Allah kepada hamba-Nya merupakan harapan yang paling tinggi, karena Allah menjadikannya sebagai batas terakhir bagi hamba-hamba pilihan-Nya, dan mengaruniakan mereka dengannya ketika mereka mengerjakan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya.
- Kelembutan Allah kepada mereka dan pengokohan-Nya terhadap iman mereka di saat-saat sulit.
- Ibadah yang berat dilakukan jiwa memiliki kelebihan di atas ibadah yang lain, dan semakin besar kesulitan, maka semakin besar pula pahala.
- Tobat dari Allah kepada hamba-Nya tergantung penyesalannya.
- Tanda kebaikan adalah ketika hati bergantung kepada Allah secara sempurna dan lepas dari ketergantungan kepada makhluk.
- Di antara kelembutan Allah kepada tiga orang itu adalah menyebut mereka, namun bukan celaan bagi mereka, Dia berfirman dengan kata-kata, “Khulifuu” (ditangguhkan tobatnya atau tertinggal perang), tidak “takhallafuu” (meninggalkan perang).
- Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengaruniakan mereka bersikap jujur, oleh karenanya Dia memerintahkan yang lain mengikuti mereka
Demikianlah
penuturan Ka’ab bin Malik melalui anaknya Abdullah bin Ka’ab bin Malik yang
tercatat dalam Shahih Bukhari. Kisahnya menunjukkan betapa ia berani menerima
segala konsekuensi dari kesalahan yang telah ia lakukan. Ia sadar betul bahwa
ia akan memperoleh hukuman yang berat jika ia jujur kepada Rasulullah ﷺ tentang ketidak ikutsertaannya dalam perang Tabuk. Namun, ia
senantiasa menjaga harga dirinya dan memilih untuk mengakui kesalahannya dengan
penuh penyesalan. Hal tersebut yang membedakan ia dengan orang-orang munafik. Selain
berani jujur, ia juga sabar dalam menjalani hukuman sampai Allah
melapangkannya. Masyaa Allah. Mudah-mudahan kita mampu mengambil pelajaran yang
berharga dari kisah tersebut. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar