Senin, 11 Januari 2016

#2 Sa’id bin ‘Amir al-Jumahi R.A.

http://i50.tinypic.com/jif1ih.jpg
Sa’id bin ‘Amir adalah salah satu dari ribuan pemuda yang diundang oleh kaum kafir Quraisy untuk menyaksikan eksekusi mati Khubaib bin Adi di Tan’im di luar kota Mekah. Ketika itu ia belum memeluk Islam. Sa’id bin ‘Amir memiliki tubuh yang kuat dan tangguh, sehingga ia mampu menerobos kerumunan orang yang menyaksikan eksekusi tersebut bak menonton sebuah konser. Sampailah ia ke barisan paling depan dan bersanding dengan pemuka-pemuka Quraisy. Sa’id bin ‘Amir menyaksikan langsung di hadapannya beragam penyiksaan yang dialami oleh Khubaib bin Adi. Tubuhnya disayat, dikuliti, dan dicincang hidup-hidup. Orang-orang yang melakukan tindakan keji itu berkata, “Apakah kamu ingin Muhammad berada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?”. Khubaib bin Adi menjawab, “Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri”. Pada akhirnya Khubaib pun syahid.

Pemandangan yang Sa’id bin ‘Amir saksikan tersebut tak kunjung sirna dari benaknya. Wajah Khubaib tertanam kuat di memorinya. Ia ingat jelas ketika Khubaib meminta diberi kesempatan untuk mendirikan sholat dua rekaat sebelum dieksekusi. Ia ingat ketika Khubaib mengerjakan sholatnya dengan tentram dan khusyuk, sedangkan penyiksaan serta kematian telah berada di hadapannya. Khubaib tak gentar sedikitpun menghadapi eksekusi itu, bahkan ia masih sempat menikmati sholatnya. Kejadian itu cukup membuat Sa’id terkagum-kagum dengan Islam. Allah telah mengetuk pintu hati Sa’id bin ‘Amir dan ia tak pernah melupakan kejadian itu sepanjang hayatnya.

Semenjak itu, Sa’id memutuskan untuk menerima Islam dan berhijrah ke Madinah bergabung dengan umat Islam di Madinah. Ia juga ikut andil dalam perang Khaibar bersama Rasulullah SAW.

Sekilas tentang pertempuran Khaibar

Perang Khaibar adalah pertempuran antara kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dengan kaum Yahudi yang dipimpin oleh al-Harits bin Abu Zainab. Khaibar terletak sekitar 150 km dari Madinah yang merupakan benteng pertahanan terakhir kaum Yahudi. Sebelumnya Yahudi juga yang telah menggerakkan pasukan Ahzab dalam perang Khandaq dan perang Khaibar ini menjadi kali keempat Rasulullah SAW memerangi Yahudi. Bagi umat Islam, Yahudi jauh lebih berbahaya dibanding dengan musuh-musuh yang lain.

Menggempur benteng Khaibar bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Sebelumnya pasukan Romawi yang lebih besar pun tak sanggup menaklukannya. Sistem pertahanan benteng Khaibar sangat kokoh. Ia terdiri dari tiga lapis dan masing-masing terdiri atas tiga benteng. Gempuran demi gempuran dilancarkan, namun tak kunjung menembus pertahanan Khaibar. Rasulullah kemudian mengutus Abu Bakar untuk menjadi komandan pasukan, tetapi belum juga mampu menembus pertahanan lawan. begitupun dengan Umar.

Kaum muslimin menyerang dan mengepung benteng-benteng Yahudi, tetapi sebagian sahabat pembawa bendera perang tidak berhasil menguasai dan mengalahkan mereka hinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang Allah dan Rasul-Nya mencintai dan dia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memenangkan kaum muslimin lewat tangannya.” Maka para sahabat bergembira dengan kabar ini dan semua berharap agar bendera tersebut akan diserahkan kepadanya, hingga Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah menginginkan kebesaran, kecuali pada Perang Khaibar.”

Pada pagi hari itu para sahabat bergegas untuk berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing berharap akan diserahi bendera komando. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimanakah Ali?” Meraka menjawab, “Dia sedang sakit mata, sekarang berada di perkemahannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Panggillah dia.” Maka mereka memanggilnya. Ali radhiallahu ‘anhu datang dalam keadaan sakit mata (trahom), lalu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi matanya dan sembuh seketika, seakan-akan tidak pernah merasakan sakit. Beliau menyerahkan bendera perang dan berwasiat kepadanya, “Ajaklah mereka kepada Islam sebelum engkau memerangi mereka. Sebab, demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah seorang di antara mereka lewat tanganmu maka sungguh itu lebih baik bagimu dari pada onta merah (harta bangsa Arab yang paling mewah ketika itu).” (Muslim)

Benar adanya, Ali beserta pasukannya mampu menduduki pintu benteng yang kemudian digunakan sebagai perisai. Tak sampai di situ, Ali dan pasukannya juga berhasil mendobrak pertahanan Yahudi yang menyebabkan tewasnya al-Harits bin Abu Zainab sang komandan Yahudi. Momen ini menjadi titik awal penaklukan benteng demi benteng oleh pasukan Islam. Satu persatu benteng berhasil dikuasai melalui pertarungan sengit hingga sampai kepada benteng Zubair yang harus melalui pengepungan yang lebih lama. Hal ini disebabkan semua pasukan Yahudi betahan di benteng tersebut. Hingga akhirnya pasukan Islam memotong saluran air yang menuju benteng Zubair dan memaksa pasukan Yahudi harus keluar dari benteng tersebut menghadapi pertempuran langsung.

Gencarnya tekanan yang diberikan pasukan Islam ini kemudian mencapai puncaknya. Yahudi akhirnya menyerah dan jatuhlah Khaibar ke tangan umat Islam. Kemenangan di Khaibar ini tercatat sebagai kemenangan yang sangat gemilang. Umat Islam memperoleh harta rampasan perang yang sangat melimpah dari perang Khaibar seperti yang telah dijanjikan oleh Allah sebelum perang berlangsung, Allah berfirman:

“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20)

Perang Khaibar menjadi kali pertama bagi Sa’id bin ‘Amir untuk berperang di jalan Allah. Ia membuktikan kecintaanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Setelah perang berakhir, Rasulullah SAW menetap beberapa saat di Khaibar. Beliau menikahi seorang tawanan perang yang menyerahkan diri kepada Rasulullah. Adalah Shafiyah binti Hayyi bin Akhtab, seorang wanita Yahudi yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah. Melihat status Shafiyah yang merupakan keturunan Yahudi, para sahabat tak lantas mempercayainya begitu saja. Ketika Rasulullah sedang berbulan madu dengan Shafiyah, Sa’id bin ‘Amir dan Abu Ayub al-Anshari menjaga kemah beliau. Mereka senantiasa bersiaga dengan senjata. Ketika adzan subuh berkumandang, Rasulullah keluar dan mendapati Sa’id bin ‘Amir dan Abu Ayub sedang berjaga seraya bertanya, “Apa yang kalian lakukan?” mereka menjawab, “Ya Rasulullah, kami menjaga engkau dari tipu daya wanita Yahudi tersebut. Kami sangat mengkhawatirkan keselamatanmu, meskipun kami tahu Allah akan selalu menjagamu”. Kemudian Rasulullah berdo’a, “Ya Allah, peliharalah Abu Ayub dan jagalah Sa’id bin ‘Amir”.

Sa’id bin ‘Amir al-Jumahi sang pemimpin yang tawadhu’

Setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat menjadi khalifah, tak tercatat dalam riwayat perihal keikutsertaan Sa’id bin ‘Amir dalam perang-perang berikutnya. Hingga pecahlah perang Tabuk untuk membebaskan Syam dari kekaisaran Romawi. Panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarrah meminta tambahan pasukan. Menanggapi permintaan ini, Abu Bakar mengirim pasukan tambahan yang sangat besar di bawah pimpinan Sa’id bin ‘Amir. Pasukan tambahan pimpinan Sa’id bin ‘Amir terbukti mampu mengejutkan pasukan Romawi. Hal ini menjadi pukulan telak bagi pasukan Romawi.

Ketika malam telah tiba, kedua pihak menghentikan peperang dan kembali ke perkemahan masing-masing. Saat sedang beristirahat, seketika beredar kabar tentang meninggalnya khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau sebelumnya menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Umar pun dengan sigap segera merapikan pemerintahan di daerah-daerah yang telah dikuasai Islam. Setelah Syam dibebaskan dari cengkeraman Romawi, S’aid bin ‘Amir ditunjuk oleh khalifah Umar bin Khattab untuk menjadi Gubernur di Homs (saat ini masuk wilayah Suriah). Umar berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Homs kepadamu.” Maka Said menjawab, “Wahai Umar, dengan nama Allah aku memohon kepadamu agar mencoret namaku.” Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu”.

Akhirnya Sa’id pun diangkat menjadi gubernur Homs. Umar berpesan “Aku memilihmu sebagai pejabat bukan untuk mengalirkan darah umat Islam, melainkan untuk mengerjakan sholat, memberikan kesejahteraan rakyat, dan menciptakan keadilan bagi mereka.”

Suatu hari, sang gubernur mengimami sholat subuh. Selesainya sholat subuh, Sa’id berkeliling mengitari jamaahnya. Ia sontak terkejut ketika mendapati Umar bin Khattab berada di tengah-tengah jamaahnya. Mereka berpelukan lantas Umar memerintahkan seluruh jamaah untuk tetap berada di masjid guna mengevaluasi kinerja gubernurnya. Umar memang biasa melakukan sidak mendadak dengan mendengar keluhan-keluhan rakyat di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan menghadirkan gubernurnya untuk mendengar hingga mengklarifikasi keluhan rakyatnya.

Dalam riwayat lain, Umar meminta penduduk Homs untuk mengadukan segala keluh kesahnya. Umar bertanya, “Wahai penduduk Homs, bagaiman pendapat kalian tentang gubernur kalian ini?”

Penduduk Homs pun menjawab, “Kami mengadukan empat perkara kepadamu tentang dirinya. Dia tidak pernah keluar menemui kami kecuali setelah menjelang siang hari.”
Kalifah Umar bertanya, “Ada yang lebih besar dari permasalahan itu?”

Mereka menjawab, “Dia tidak pernah mengunjungi siapapun di waktu malam.”

Khalifah Umar bertanya kembali, “Ada yang lebih besar lagi?”

Mereka menjawab, “Dalam satu bulan ada satu hari penuh ia tidak keluar.”

Khalifah Umar bertanya lagi, “Ada permasalahan yang lain?”
Mereka menjawab, “Pada hari tertentu kami mendapatinya pingsan dan tak sadarkan diri.”

Kemudian khalifah Umar mempertemukan Sa’id bin ‘Amir dengan rakyatnya. Umar berkata, “Pada hari ini, semoga Allah tidak mengecewakan pradugaku tentang Sa’id bin ‘Amir”. Selanjutnya khalifah Umar mulai bertanya, “Apa yang kalian keluhkan tentang Sa’id?”

Rakyat Homs menjawab, “Beliau tidak pernah keluar menemui kami kecuali menjelang siang hari.”
Khalifah Umar bertanya kepada Sa’id, “Bagaiman jawabanmu?”

Sa’id menjawab, “Demi Allah, sebenarnya aku berat untuk mengatakannya. Keluargaku tidak memiliki pembantu, maka aku membuat roti sendiri, mengaduk adonan hingga menjadi roti. Kemudian aku berwudhu dan keluar menemui rakyatku.”
Khalifah Umar bertanya kembali, “Apalagi yang kalian adukan tentang dirinya?”

Rakyat Homs menjawab, “Pada malam hari, beliau tidak pernah menemui siapa pun.”

Khalifah Umar bertanya kepada gubernurnya, “Apa komentarmu?”

Gubernur Sa’id menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku berat mengatakannya. Tapi harus kulakukan. Aku menjadikan siang harus untuk rakyatku dan malam hari untuk Allah.”

Khalifah bertanya lagi, “Apalagi yang ingin kalian adukan kepadaku tentangnya?”

Mereka rakyat Homs menjawab, “Dalam satu bulan terdapat satu hari penuh beliau tidak keluar menemui kami.”

Khalifah bertanya kepada Sa’id, “Apa komentarmu?”

Sa’id menjelaskan, “Sesungguhnya aku tidak mempunyai pembantu yang mencucikan bajuku dan aku juga tidak memili yang lain selain yang kukenakan ini. Maka, aku mencuci bajuku dan menunggunya hingga kering. Setelah itu aku rapikan baru aku keluar menemui rakyatku.”

Khalifah Umar betanya lagi, “Apalagi wahai penduduk Homs yang ingin kalian adukan tentangnya?”

Rakyat Homs menjawab, “Pada hari tertentu beliau mengalami kesedihan yang sangat mendalam.”

Khalifah bertanya kepada gubernur Sa’id, “Apa ini wahai Sa’id?”

Sa’id bin ‘Amir menjawab, “Aku menyaksikan penyiksaan terhadap Khubaib bin Adi di Mekah. Orang-orang Quraisy telah menyayat-nyayat dagingnya lalu memberikannya kepada hewan yang kelaparan. Mereka orang Quraisy bertanya, ‘Apa kamu senang jika Muhammad menggantikan posisimu?’ Khubaib menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak suka berdiam diri bersama keluarga dan anak-anakku sedangkan Nabi Muhammad SAW terkena duri.’ Setiap aku ingat peristiwa itu ... kala itu aku masih kafir dan aku tidak berupaya untuk menolongnya. Aku menduga bahwa Allah tidak akan mengampuni dosaku, hingga aku merakan duka yang sangat mendalam.”

Khalifah Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan aku dengan pahlawanku ini.” Puji Umar.

Pada suatu hari, khalifah Umar memerintahkan utusannya untuk mengumpulkan daftar orang-orang miskin di Homs untuk diberikan santunan. Ketika ia mendapatkan daftarnya, ia terkejut tatkala ia mendapati nama Sa’id bin ‘Amir tercantum dalam daftar orang miskin di Homs. Khalifah Umar kemudian mengirimkan Sa’id bin ‘Amir sekantung dinar dengan pesan, “Gunakan uang ini untuk mengurus kebutuhanmu dan keluargamu.”

Menerima uang sebanyak itu, Sa’id tak lantas gembira. Ia justru sangat sedih dan berduka. Melihat kemurungan Sa’id, istrinya dengan penuh kekhawatiran bertanya, “Apakah gerangan yang membuatmu bersedih wahai suamiku? Apakah terdapat berita kematian khalifah?” Sa’id menjawab, “Ini bahkan lebih besar dari kematian khalifah.”

Istrinya semakin penasaran seraya kembali bertanya, “Apakah terdapat berita tentang kekalahan umat Islam?” Sa’id menjawab, “Labih besar dari itu.”

Istrinya semakin heran. Ia bertanya-tanya apakah gerangan musibah yang lebih besar dari itu. Ia bertanya lagi, “Apa itu wahai suamiku?” Sa’id menjawab, “Aku diuji dengan dinar. Aku telah bersama Rasulullah tapi aku tidak diuji dengan dinar, demikian juga Abu Bakar. Namun ujian itu datang ketika aku bersama Umar. Ketahuilah hari-hari buruk bagiku adalah hari-hari bersama Umar. Beliau mengangkatku menjadi seorang gubernur dan sekarang beliau memberiku sekantung besar dinar.”

Sa’id melanjutkan, “Sesungguhnya aku mengkhawatirkanmu.” Istrinya bertanya, “Maksudmu aku?” Sa’id menjawab, “Ya.”

Istrinya menjawab, “Kamu lebih mengetahui permasalahannya.” Sa’id menjelaskan, “Amirul Mu’minin mengirimkan sekantung besar dinar untuk biaya hidupmu dan hidupku, padahal orang-orang Muhajirin yang miskin akan masuk surga terlebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang kayanya. Demi Allah, bagaimana aku bisa lebih suka mendapatkan nikmat itu dan terhalang dari kelompok pertama yang masuk surga?”

Istrinya menjawab, “Lakukanlah apa yang menurutmu labih baik.” Sa’id kemudian bertanya, “Apa kau mempunyai kain?”
Istrinya kemudian memberikannya kain. Sa’id merobek kain tersebut menjadi beberapa bagian lalu mengisinya dengan dinar dan membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan hingga bungkusan yang terakhir. Dia kembali ke rumah dengan tangan kosong tanpa sepeserpun sisa dinar tersebut.

Demikianlah kisah seorang pejuang yang mendedikasikah seluruh hidupnya untuk menegakkakkan kalimat Allah. Para pahlawan agama Allah tak akan pernah berhenti sebelum kalimat Allah menggema ke seluruh penjuru dunia. Sa’id bin ‘Amir telah tampil sebagai seorang kesatria tangguh yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi selain keduanya. Ia juga tampil sebagai seorang pemimpin yang tawadhu’ yang memandang harta dan tahta sebagai sebuah musibah dan bukan sebagai prioritas hidupnya. Rahimahullah Sa’id bin ‘Amir al-Jumuah R.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar