![]() |
http://i50.tinypic.com/jif1ih.jpg |
Sa’id bin ‘Amir adalah salah satu dari ribuan pemuda yang diundang oleh
kaum kafir Quraisy untuk menyaksikan eksekusi mati Khubaib bin Adi di Tan’im di
luar kota Mekah. Ketika itu ia belum memeluk Islam. Sa’id bin ‘Amir memiliki
tubuh yang kuat dan tangguh, sehingga ia mampu menerobos kerumunan orang yang
menyaksikan eksekusi tersebut bak menonton sebuah konser. Sampailah ia ke
barisan paling depan dan bersanding dengan pemuka-pemuka Quraisy. Sa’id bin
‘Amir menyaksikan langsung di hadapannya beragam penyiksaan yang dialami oleh
Khubaib bin Adi. Tubuhnya disayat, dikuliti, dan dicincang hidup-hidup.
Orang-orang yang melakukan tindakan keji itu berkata, “Apakah kamu ingin Muhammad
berada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?”. Khubaib bin Adi menjawab,
“Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam
keadaan aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri”. Pada
akhirnya Khubaib pun syahid.
Pemandangan yang Sa’id bin ‘Amir saksikan tersebut tak kunjung sirna dari
benaknya. Wajah Khubaib tertanam kuat di memorinya. Ia ingat jelas ketika
Khubaib meminta diberi kesempatan untuk mendirikan sholat dua rekaat sebelum
dieksekusi. Ia ingat ketika Khubaib mengerjakan sholatnya dengan tentram dan
khusyuk, sedangkan penyiksaan serta kematian telah berada di hadapannya.
Khubaib tak gentar sedikitpun menghadapi eksekusi itu, bahkan ia masih sempat
menikmati sholatnya. Kejadian itu cukup membuat Sa’id terkagum-kagum dengan
Islam. Allah telah mengetuk pintu hati Sa’id bin ‘Amir dan ia tak pernah
melupakan kejadian itu sepanjang hayatnya.
Semenjak itu, Sa’id memutuskan untuk menerima Islam dan berhijrah ke
Madinah bergabung dengan umat Islam di Madinah. Ia juga ikut andil dalam perang
Khaibar bersama Rasulullah SAW.
Sekilas tentang pertempuran Khaibar
Perang Khaibar adalah pertempuran antara kaum Muslimin yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah SAW dengan kaum Yahudi yang dipimpin oleh al-Harits
bin Abu Zainab. Khaibar terletak sekitar 150 km dari Madinah yang merupakan
benteng pertahanan terakhir kaum Yahudi. Sebelumnya Yahudi juga yang telah
menggerakkan pasukan Ahzab dalam perang Khandaq dan perang Khaibar ini menjadi
kali keempat Rasulullah SAW memerangi Yahudi. Bagi umat Islam, Yahudi jauh
lebih berbahaya dibanding dengan musuh-musuh yang lain.
Menggempur benteng Khaibar bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Sebelumnya
pasukan Romawi yang lebih besar pun tak sanggup menaklukannya. Sistem
pertahanan benteng Khaibar sangat kokoh. Ia terdiri dari tiga lapis dan
masing-masing terdiri atas tiga benteng. Gempuran demi gempuran dilancarkan,
namun tak kunjung menembus pertahanan Khaibar. Rasulullah kemudian mengutus Abu
Bakar untuk menjadi komandan pasukan, tetapi belum juga mampu menembus
pertahanan lawan. begitupun dengan Umar.
Kaum muslimin menyerang dan
mengepung benteng-benteng Yahudi, tetapi sebagian sahabat pembawa bendera
perang tidak berhasil menguasai dan mengalahkan mereka hinga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok akan
kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang Allah dan Rasul-Nya mencintai
dan dia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memenangkan kaum muslimin
lewat tangannya.” Maka para sahabat bergembira dengan kabar ini dan semua
berharap agar bendera tersebut akan diserahkan kepadanya, hingga
Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah menginginkan
kebesaran, kecuali pada Perang Khaibar.”
Pada pagi hari itu para sahabat
bergegas untuk berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Masing-masing berharap akan diserahi bendera komando. Akan tetapi,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimanakah Ali?”
Meraka menjawab, “Dia sedang sakit mata, sekarang berada di perkemahannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Panggillah
dia.” Maka mereka memanggilnya. Ali radhiallahu ‘anhu datang
dalam keadaan sakit mata (trahom), lalu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam meludahi matanya dan sembuh seketika, seakan-akan tidak pernah
merasakan sakit. Beliau menyerahkan bendera perang dan berwasiat kepadanya, “Ajaklah
mereka kepada Islam sebelum engkau memerangi mereka. Sebab, demi Allah,
seandainya Allah memberi hidayah seorang di antara mereka lewat tanganmu maka
sungguh itu lebih baik bagimu dari pada onta merah (harta bangsa Arab yang
paling mewah ketika itu).” (Muslim)
Benar adanya, Ali beserta pasukannya mampu menduduki pintu benteng yang
kemudian digunakan sebagai perisai. Tak sampai di situ, Ali dan pasukannya juga
berhasil mendobrak pertahanan Yahudi yang menyebabkan tewasnya al-Harits bin
Abu Zainab sang komandan Yahudi. Momen ini menjadi titik awal penaklukan
benteng demi benteng oleh pasukan Islam. Satu persatu benteng berhasil dikuasai
melalui pertarungan sengit hingga sampai kepada benteng Zubair yang harus
melalui pengepungan yang lebih lama. Hal ini disebabkan semua pasukan Yahudi
betahan di benteng tersebut. Hingga akhirnya pasukan Islam memotong saluran air
yang menuju benteng Zubair dan memaksa pasukan Yahudi harus keluar dari benteng
tersebut menghadapi pertempuran langsung.
Gencarnya tekanan yang diberikan pasukan Islam ini kemudian mencapai
puncaknya. Yahudi akhirnya menyerah dan jatuhlah Khaibar ke tangan umat Islam.
Kemenangan di Khaibar ini tercatat sebagai kemenangan yang sangat gemilang.
Umat Islam memperoleh harta rampasan perang yang sangat melimpah dari perang
Khaibar seperti yang telah dijanjikan oleh Allah sebelum perang berlangsung,
Allah berfirman:
“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang
banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu
dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu
mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar
Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20)
Perang Khaibar menjadi kali pertama bagi Sa’id bin ‘Amir untuk berperang di
jalan Allah. Ia membuktikan kecintaanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Setelah
perang berakhir, Rasulullah SAW menetap beberapa saat di Khaibar. Beliau menikahi
seorang tawanan perang yang menyerahkan diri kepada Rasulullah. Adalah Shafiyah
binti Hayyi bin Akhtab, seorang wanita Yahudi yang menyerahkan dirinya kepada
Rasulullah. Melihat status Shafiyah yang merupakan keturunan Yahudi, para
sahabat tak lantas mempercayainya begitu saja. Ketika Rasulullah sedang
berbulan madu dengan Shafiyah, Sa’id bin ‘Amir dan Abu Ayub al-Anshari menjaga
kemah beliau. Mereka senantiasa bersiaga dengan senjata. Ketika adzan subuh
berkumandang, Rasulullah keluar dan mendapati Sa’id bin ‘Amir dan Abu Ayub
sedang berjaga seraya bertanya, “Apa yang kalian lakukan?” mereka menjawab, “Ya
Rasulullah, kami menjaga engkau dari tipu daya wanita Yahudi tersebut. Kami
sangat mengkhawatirkan keselamatanmu, meskipun kami tahu Allah akan selalu
menjagamu”. Kemudian Rasulullah berdo’a, “Ya Allah, peliharalah Abu Ayub dan
jagalah Sa’id bin ‘Amir”.
Sa’id bin ‘Amir al-Jumahi sang pemimpin yang
tawadhu’
Setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat menjadi
khalifah, tak tercatat dalam riwayat perihal keikutsertaan Sa’id bin ‘Amir
dalam perang-perang berikutnya. Hingga pecahlah perang Tabuk untuk membebaskan
Syam dari kekaisaran Romawi. Panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarrah meminta tambahan
pasukan. Menanggapi permintaan ini, Abu Bakar mengirim pasukan tambahan yang
sangat besar di bawah pimpinan Sa’id bin ‘Amir. Pasukan tambahan pimpinan Sa’id
bin ‘Amir terbukti mampu mengejutkan pasukan Romawi. Hal ini menjadi pukulan
telak bagi pasukan Romawi.
Ketika malam telah tiba, kedua pihak menghentikan peperang dan kembali ke
perkemahan masing-masing. Saat sedang beristirahat, seketika beredar kabar
tentang meninggalnya khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau sebelumnya menunjuk
Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Umar pun dengan sigap segera merapikan
pemerintahan di daerah-daerah yang telah dikuasai Islam. Setelah Syam
dibebaskan dari cengkeraman Romawi, S’aid bin ‘Amir ditunjuk oleh khalifah Umar
bin Khattab untuk menjadi Gubernur di Homs (saat ini masuk wilayah Suriah). Umar
berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Homs kepadamu.” Maka Said menjawab, “Wahai Umar, dengan nama Allah
aku memohon kepadamu agar mencoret namaku.” Maka
Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di
pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Allah, aku tidak akan
membiarkanmu”.
Akhirnya Sa’id pun diangkat menjadi gubernur Homs. Umar berpesan “Aku
memilihmu sebagai pejabat bukan untuk mengalirkan darah umat Islam, melainkan
untuk mengerjakan sholat, memberikan kesejahteraan rakyat, dan menciptakan
keadilan bagi mereka.”
Suatu hari, sang gubernur mengimami sholat subuh. Selesainya sholat subuh,
Sa’id berkeliling mengitari jamaahnya. Ia sontak terkejut ketika mendapati Umar
bin Khattab berada di tengah-tengah jamaahnya. Mereka berpelukan lantas Umar
memerintahkan seluruh jamaah untuk tetap berada di masjid guna mengevaluasi
kinerja gubernurnya. Umar memang biasa melakukan sidak mendadak dengan
mendengar keluhan-keluhan rakyat di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan menghadirkan
gubernurnya untuk mendengar hingga mengklarifikasi keluhan rakyatnya.
Dalam riwayat lain, Umar meminta penduduk Homs untuk mengadukan segala
keluh kesahnya. Umar bertanya, “Wahai penduduk Homs, bagaiman pendapat kalian
tentang gubernur kalian ini?”
Penduduk Homs pun menjawab, “Kami mengadukan empat perkara kepadamu tentang
dirinya. Dia tidak pernah keluar menemui kami kecuali setelah menjelang siang
hari.”
Kalifah Umar bertanya, “Ada yang lebih besar dari permasalahan itu?”
Mereka menjawab, “Dia tidak pernah mengunjungi siapapun di waktu malam.”
Khalifah Umar bertanya kembali, “Ada yang lebih besar lagi?”
Mereka menjawab, “Dalam satu bulan ada satu hari penuh ia tidak keluar.”
Khalifah Umar bertanya lagi, “Ada permasalahan yang lain?”
Mereka menjawab, “Pada hari tertentu kami mendapatinya pingsan dan tak
sadarkan diri.”
Kemudian khalifah Umar mempertemukan Sa’id bin ‘Amir dengan rakyatnya. Umar
berkata, “Pada hari ini, semoga Allah tidak mengecewakan pradugaku tentang Sa’id
bin ‘Amir”. Selanjutnya khalifah Umar mulai bertanya, “Apa yang kalian keluhkan
tentang Sa’id?”
Rakyat Homs menjawab, “Beliau tidak pernah keluar menemui kami kecuali menjelang
siang hari.”
Khalifah Umar bertanya kepada Sa’id, “Bagaiman jawabanmu?”
Sa’id menjawab, “Demi Allah, sebenarnya aku berat untuk mengatakannya. Keluargaku
tidak memiliki pembantu, maka aku membuat roti sendiri, mengaduk adonan hingga
menjadi roti. Kemudian aku berwudhu dan keluar menemui rakyatku.”
Khalifah Umar bertanya kembali, “Apalagi yang kalian adukan tentang
dirinya?”
Rakyat Homs menjawab, “Pada malam hari, beliau tidak pernah menemui siapa
pun.”
Khalifah Umar bertanya kepada gubernurnya, “Apa komentarmu?”
Gubernur Sa’id menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku berat mengatakannya.
Tapi harus kulakukan. Aku menjadikan siang harus untuk rakyatku dan malam hari
untuk Allah.”
Khalifah bertanya lagi, “Apalagi yang ingin kalian adukan kepadaku
tentangnya?”
Mereka rakyat Homs menjawab, “Dalam satu bulan terdapat satu hari penuh
beliau tidak keluar menemui kami.”
Khalifah bertanya kepada Sa’id, “Apa komentarmu?”
Sa’id menjelaskan, “Sesungguhnya aku tidak mempunyai pembantu yang
mencucikan bajuku dan aku juga tidak memili yang lain selain yang kukenakan
ini. Maka, aku mencuci bajuku dan menunggunya hingga kering. Setelah itu aku
rapikan baru aku keluar menemui rakyatku.”
Khalifah Umar betanya lagi, “Apalagi wahai penduduk Homs yang ingin kalian
adukan tentangnya?”
Rakyat Homs menjawab, “Pada hari tertentu beliau mengalami kesedihan yang
sangat mendalam.”
Khalifah bertanya kepada gubernur Sa’id, “Apa ini wahai Sa’id?”
Sa’id bin ‘Amir menjawab, “Aku menyaksikan penyiksaan terhadap Khubaib bin
Adi di Mekah. Orang-orang Quraisy telah menyayat-nyayat dagingnya lalu
memberikannya kepada hewan yang kelaparan. Mereka orang Quraisy bertanya, ‘Apa
kamu senang jika Muhammad menggantikan posisimu?’ Khubaib menjawab, ‘Demi
Allah, aku tidak suka berdiam diri bersama keluarga dan anak-anakku sedangkan
Nabi Muhammad SAW terkena duri.’ Setiap aku ingat peristiwa itu ... kala itu
aku masih kafir dan aku tidak berupaya untuk menolongnya. Aku menduga bahwa
Allah tidak akan mengampuni dosaku, hingga aku merakan duka yang sangat
mendalam.”
Khalifah Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan aku
dengan pahlawanku ini.” Puji Umar.
Pada suatu hari, khalifah Umar memerintahkan utusannya untuk mengumpulkan
daftar orang-orang miskin di Homs untuk diberikan santunan. Ketika ia
mendapatkan daftarnya, ia terkejut tatkala ia mendapati nama Sa’id bin ‘Amir
tercantum dalam daftar orang miskin di Homs. Khalifah Umar kemudian mengirimkan
Sa’id bin ‘Amir sekantung dinar dengan pesan, “Gunakan uang ini untuk mengurus kebutuhanmu
dan keluargamu.”
Menerima uang sebanyak itu, Sa’id tak lantas gembira. Ia justru sangat sedih
dan berduka. Melihat kemurungan Sa’id, istrinya dengan penuh kekhawatiran
bertanya, “Apakah gerangan yang membuatmu bersedih wahai suamiku? Apakah terdapat
berita kematian khalifah?” Sa’id menjawab, “Ini bahkan lebih besar dari
kematian khalifah.”
Istrinya semakin penasaran seraya kembali bertanya, “Apakah terdapat berita
tentang kekalahan umat Islam?” Sa’id menjawab, “Labih besar dari itu.”
Istrinya semakin heran. Ia bertanya-tanya apakah gerangan musibah yang
lebih besar dari itu. Ia bertanya lagi, “Apa itu wahai suamiku?” Sa’id
menjawab, “Aku diuji dengan dinar. Aku telah bersama Rasulullah tapi aku tidak
diuji dengan dinar, demikian juga Abu Bakar. Namun ujian itu datang ketika aku
bersama Umar. Ketahuilah hari-hari buruk bagiku adalah hari-hari bersama Umar. Beliau
mengangkatku menjadi seorang gubernur dan sekarang beliau memberiku sekantung
besar dinar.”
Sa’id melanjutkan, “Sesungguhnya aku mengkhawatirkanmu.” Istrinya bertanya,
“Maksudmu aku?” Sa’id menjawab, “Ya.”
Istrinya menjawab, “Kamu lebih mengetahui permasalahannya.” Sa’id menjelaskan,
“Amirul Mu’minin mengirimkan sekantung besar dinar untuk biaya hidupmu dan
hidupku, padahal orang-orang Muhajirin yang miskin akan masuk surga terlebih dahulu
dibandingkan dengan orang-orang kayanya. Demi Allah, bagaimana aku bisa lebih
suka mendapatkan nikmat itu dan terhalang dari kelompok pertama yang masuk
surga?”
Istrinya menjawab, “Lakukanlah apa yang menurutmu labih baik.” Sa’id
kemudian bertanya, “Apa kau mempunyai kain?”
Istrinya kemudian memberikannya kain. Sa’id merobek kain tersebut menjadi
beberapa bagian lalu mengisinya dengan dinar dan membagikannya kepada
orang-orang yang membutuhkan hingga bungkusan yang terakhir. Dia kembali ke
rumah dengan tangan kosong tanpa sepeserpun sisa dinar tersebut.
Demikianlah kisah seorang pejuang yang mendedikasikah seluruh hidupnya
untuk menegakkakkan kalimat Allah. Para pahlawan agama Allah tak akan pernah
berhenti sebelum kalimat Allah menggema ke seluruh penjuru dunia. Sa’id bin ‘Amir
telah tampil sebagai seorang kesatria tangguh yang mencintai Allah dan
Rasul-Nya melebihi selain keduanya. Ia juga tampil sebagai seorang pemimpin
yang tawadhu’ yang memandang harta dan tahta sebagai sebuah musibah dan bukan
sebagai prioritas hidupnya. Rahimahullah Sa’id bin ‘Amir al-Jumuah R.A.
REFERENSI:
‘Umairah, Abdurrahman. 2010. The Great Knight. Diterjemahkan oleh:
Badrudin & Muhyidin. Jakarta: Embun Litera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar