Al-Mughirah bin Syu’bah adalah seorang yang gagah berani lagi cerdik.
Beliau lahir di Thaif sekitar tahun 20 sebelum Hijriah. Ayah beliau bernama
Syu’bah bin Abu ‘Amir yang termasuk salah seorang ilmuan yang mumpuni dalam
mengambil keputusan dan kebijakan. Ibunya seorang wanita keturunan Nashr bin
Mu’awiyah. Seorang wanita yang seluruh hidupnya dipersembahkan untuk
kebahagiaan suami dan mendidik anak-anaknya.
Kisahnya berawal ketika sekelompok orang dari bani Malik mengirim utusan ke
Muqauqis dengan membawa hadiah-hadiah yang mahal. Muqauqis adalah seorang
gubernur Romawi yang pada saat itu menduduki Iskandaria di Mesir. Al-Mughirah
bersikeras untuk ikut rombongan tersebut meskipun telah dilarang oleh pamannya ‘Urwah
bin Mas’ud. Alhasil, Al-Mughirah merupakan satu-satunya orang dari bani Ahlaf
yang ikut menemui Muqauqis.
Sepulangnya dari kunjungan tersebut, rombongan yang diikuti Al-Mughirah
tersebut berniat untuk pergi ke Thaif guna melaporkan perihal yang mereka
alami. Namun, Al-Mughirah berupaya untuk menggagalkan rencana tersebut.
Mengingat, ia pergi mengikuti rombongan ke Iskandaria secara diam-diam. Ketika
sampai di suatu tempat yang bernama Busaq, Al-Mughirah yang terkenal cerdik
memperdayai orang-orang tersebut lalu membunuhnya dan kemudian mengambil semua
barang bawaan mereka. Setelah itu ia pergi ke Madinah untuk menemui Rasulullah
SAW dan memeluk Islam.
Setibanya di tempat Rasulullah, Al-Mughirah mendapati Rasulullah sedang
duduk-duduk bersama para sahabat. Al-Mughirah berkata, “Aku datang ke sini
untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah
memberimu hidayah pada Islam.”
Abu Bakar ash-Shiddiq bertanya, “Apakah engkau dari Mesir?” Al-Mughirah
menjawab, “Iya.” Abu Bakar bertanya lagi, “Apa yang dilakukan orang-orang
Maliki terhadapmu?” Al-Mughirah lantas menjawab, “Antara aku dan mereka
terdapat perselisihan, padahal kami sama-sama musyrik. Karena itu, aku bunuh
mereka. Kurampas barang-barang mereka, kemudian aku menghadap Rasulullah SAW
supaya dibagi-bagikan. Karena aku menganggap ini sebagai harta rampasan perang
dari orang-orang musyrik sedang aku sebagai seorang Muslim yang membenarkan
Rasulullah Muhammad SAW.”
Mendengar pemaparan Al-Mughirah, Rasulullah SAW berkata, “Aku terima
keislamanmu. Akan tetapi, barang yang kau rampas tidak akan kuambil. Karena
barang tersebut merupakan hasil penipuan dan penipuan merupakan tindakan
tercela.” Al-Mughirah bergabung dalam masyarakat Islam sebagai seorang
manusia yang baru yang disatukan oleh sesuatu yang berada di langit, yang tak
terlihat tetapi selalu mengawasi, ialah Allah SWT.
Perjanjian Hudaibiyah
Peristiwa pertama yang diikuti Al-Mughirah ialah perjanjian genjatan
senjata antara pihak Quraisy dengan Rasulullah SAW. Pada saat itu ia ikut
bersama Rasulullah dan 700 orang Muslim lainnya berkunjung ke Baitullah untuk
beribadah. Ketika telah sampai di suatu tempat bernama Tsaniyyatul Marar,
Rasulullah memerintahkan rombongannya untuk beristirahat. Sembari melepas
lelah, utusan dari kedua pihak yaitu pihak Quraisy dan pihak Muslim sedang
berunding perihal tujuan kedatangan Rasulullah beserta rombongan ke Baitullah.
Datanglah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tasqafi, ia duduk di hadapan Rasulullah
kemudian berkata, “Ya Muhammad, kamu mengumpulkan semua suku sebagai umatmu.
Kamu datang kepada sukumu untuk menakut-nakuti mereka, suku Quraisy. Suku yang
banyak menelurkan pemimpin yang gagah berani. Mereka bersumpah atas nama Allah,
agar tidak sejengkal pun yang dapat dimasuki. Demi Allah, mungkin besok kami
akan mengizinkanmu untuk memasuki tanah kelahiranmu.”
Seperti kebiasaan bangsa Arab kala itu, ‘Urwah berbicara kepada Rasulullah
sambil berusaha menggapai janggut beliau. Namun upayanya itu selalu
dihalang-halangi Al-Mughirah sambil berkata, “Lepaskan tanganmu dari
Rasulullah. Jika tidak kau lepaskan, maka tanganmu akan kupotong dan tidak akan
utuh lagi.” Ujarnya. Ia telah benar-benar melupakan hubungan kekeluargaannya
untuk membela Islam dan Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW hanya tersenyum. Kemudian ‘Urwah bertanya, “Siapa dia ini,
ya Muhammad?”
Raulullah SAW menjawab, “Ini adalah putra saudaramu, al-Mughirah bin
Syu’bah.”
‘Urwah berkata, “Lelucon macam apa ini Muhammad? Hei, kau! Bukankah aku
telah membelamu atas penghianatanmu itu?” ujar ‘Urwah merujuk pada tragedi
pembunuhan yang dilakukan al-Mughirah di Busaq. ‘Urwah adalah paman al-Mughirah
yang turut membelanya atas tragedi tersebut.
Rasulullah kemudian menjawab, “Aku telah menerima keislamannya. Sedang
urusan harta yang kau bicarakan itu, aku tidak ikut campur sedikitpun.”
Mendengar pembelaan Rasulullah SAW tersebut, ‘Urwah pun berhenti mengadili
Al-Mughirah. Ia lantas beranjak dari hadapan Rasulullah seraya menyaksikan
betapa setianya para sahabat Nabi. Jika Rasulullah berwudhu, mereka segera ikut
berwudhu. Ketika Rasulullah meludah, mereka segera membersihkannya. Tidak ada
satu pun rambut beliau yang rontok melainkan mereka pasti memungutnya.
‘Urwah kembali kepada kaumnya lalu berkata, “Wahai orang-orang Quraisy,
sesungguhnya aku telah berkunjung kepada Kisra, Parsi, dan an-Najasyi di
istana-istana mereka, tapi tak kudapati seorang raja pun yang sayangnya
melebihi sayangnya Muhammad terhadap pengikutnya, sehingga pengikutnya menyerahkan
apa saja yang diminta olehnya. Buanglah prasangka buruk kalian.” Jelas ‘Urwah.
Sebelumnya memang pihak Quraisy menyangka bahwa kedatangan Rasulullah SAW
beserta rombongannya adalah untuk berperang. Namun kesaksian ‘Urwah ini
membantah semua prasangka buruk itu.
Mendengar berita tersebut, Suhail bin ‘Amr yang merupakan juru bicara pihak
Quraisy diutus untuk mengadakan perjanjian genjatan senjata dengan umat Muslim.
Isi perjanjian tersebut ialah sebagai berikut;
“Ini surat perjanjian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin ‘Amr.
Mereka sepakat untuk melakukan genjatan senjata selama sepuluh tahun dengan
menciptakan rasa aman bagi umat manusia. Pihak Quraisy yang datang ke pihak
Muhammad tanpa izin walinya, wajib dikembalikan. Namun, pihak Muhammad yang
datang ke pihak Quraisy, maka pihak Quraisy tidak berkewajiban mengembalikannya
kepada pihak Muhammad. Tidak ada unsur penipuan dan penghianatan. Orang yang
ingin berpihak dengan perjanjian Muhammad dipersilahkan bergabung dan bagi
orang yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy, bergabunglah. Orang-orang
Khuza’ah bergabung dengan pihak Muhammad, sedangkan kabilah bani Bakar
bergabung dengan pihak Quraisy. Pada tahun ini engkau tidak boleh memasuki
Mekah dan kembali ke Madinah. Pada tahun yang akan datang, engkau boleh datang
kembali dan kami akan keluar. Kamu bersama rombonganmu silahkan memasuki Mekah
selama tiga hari tanpa mengeluarkan senjata dari sarungnya.”
Demikianlah secuil peristiwa di balik perjanjian Hudaibiyah yang
menunjukkan betapa kokohnya persaudaraan umat Islam yang berjuang di bawah
panji Tauhid. Persaudaraan yang diridhai Allah SWT yang ianya membuat gentar
musuh-musuh Allah.
Penghancuran berhala-berhala bani Tsaqif
Pasca perang Thaif, bani Tsaqif mengutus delegasi yang dipimpin oleh Abu
Yalaili bin Umar ke Madinah untuk menyerahkan diri dan memeluk Islam. Sebelum
sampai di Madinah, rombongan bani Tsaqif tersebut terlihat oleh Al-Mughirah
yang saat itu sedang menggembalakan kambing dan unta para sahabat Rasulullah
SAW. Melihat kedatangan delegasi tersebut, Al-Mughirah langsung bergegas untuk
memberitahu Rasulullah. Namun, belum sempat Al-Mughirah menemui Rasulullah SAW,
ia dihadang Abu Bakar seraya berkata, “Aku bersumpah kepada Allah agar kamu
tidak mendahuluiku untuk menyampaikan berita gembira ini kepada Rasulullah SAW,
sehingga aku menjadi orang pertama yang menyampaikan berita gembira kepada
beliau.” Al-Mughirah pun menuruti permintaan Abu Bakar.
Abu Bakar segera mengabari Rasulullah tentang kedatangan bani Tsaqif untuk
memeluk Islam, sedangkan Al-Mughirah mengantarkan rombongan menuju masjid
menemui Rasulullah SAW. Delegasi yang dipimpin Abu Yalaili tersebut bersedia
memeluk Islam, namun mereka meminta beberapa syarat kepada Rasulullah SAW.
Mereka meminta agar tidak dilibatkan dalam peperangan terlebih dahulu, tidak
wajib membayar zakat sepuluh persen, tidak dipaksa untuk bersedekah, tidak
mengangkat pemimpin baru bagi mereka, tidak mengusik tuhan-tuhan mereka, dan
tidak wajib shalat. Rasulullah SAW pun menanggapi syarat tersebut seraya
bersabda, “Kalian tidak boleh mengajak untuk berperang dan membunuh, tidak
mengambil sepersepuluh harta kalian, boleh menolak mengeluarkan sedekah dan
boleh menolak untuk menjadi tukang tarik sedekah dari kaum lainnya, adapun
untuk menghancurkan berhala, kami tetap menuntut dari kalian untuk
melakukannya. Adapun shalat, maka agama seseorang tidaklah dianggap baik jika
ia tidak melakukan shalat.” Rasulullah melanjutkan, “Sesungguhnya mereka
akan bersedekah dan berjuang di jalan Allah bila keimanan mereka telah melekat
di dalam hati.”
Benar saja apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Beliau mengutus sekelompok
sahabat yang dipimpin Khalid bin Walid untuk menghacurkan berhala-berhala bani
Tsaqif di Thaif. Sedang yang termasuk di antara para sahabat tersebut adalah
Al-Mughirah yang merupakan orang terpandang di bani Tsaqif. Ia menjadi orang
yang paling bersemangat menghacurkan berhala-berhala bani Tsaqif. Al-Mughirah
berkata, “Pada hari ini aku benar-benar akan membuat kamu sekalian tertawa atas
orang-orang Tsaqif.” Kemudian ia mulai meratakan berhala-berhala itu.
Melihat hal tersebut, orang-orang Tsaqif berkata, “Semoga Allah menjauhkan
Al-Mughirah dari kecelakaan karena telah menghancurkan tuhan!” mendengar itu
Al- mughirah menjawab, “Hai orang-orang Tsaqif! Sesungguhnya berhala-berhalamu
hanyalah terdiri dari batu dan tanah liat. Beribadahlah kepada Allah yang Maha
Esa!” al-Mughirah dan para sahabat terus menghancurkan berhala-berhala yang
tersisa sampai ke pondasi-pondasinya.
Al-Mughirah dan penaklukan Persia
Pada era kekhalifahan Umar bin Khattab, pasukan Muslim menyerbu Qadisiyyah
guna memerangi pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustum. Ketika tiba di
Qadisiyyah dan kedua pasukan saling berhadapan, Rustum meminta pasukan Muslim
mengirim utusannya untuk diajak berdialog. Pasukan Muslim yang dipimpin oleh
Sa’ad bin Abi Waqqash mengirim Rib'i bin Amir. Pada hari berikutnya
Rustum meminta dikirim lagi orang lainnya, Sa'ad mengirim Huzaifah bin Mihsan.
Ketika pada hari berikutnya Rustum masih meminta lagi orang lainnya, Sa'ad
mengirim Mughirah bin Syu'bah. Mughirah segera memacu tunggangannya membelah kumpulan pasukan Persia tanpa sedikitpun rasa gentar.
Dialog pun terjadi antara Al-Mughirah dengan Rustam. Rustam mempertanyakan
perihal motiv daripada invlasi pasukan Islam. Al-Mughirah menjelaskan semuanya
dengan baik. Ia menyampaikan pesan tujuan pasukan Islam adalah untuk mengajak
Rustam dan penduduknya untuk memeluk Islam. Berbagai pertanyaan dilontarkan
Rustam kepada Al-Mughirah dan ia menjawabnya dengan sangat bijak. Akibat dari
dialog tersebut, sebagian dari tentara Persia membenarkan dan takjub atas
jawaban Al-Mughirah.
Kemudian Al-Mughirah kembali kepada Sa’ad dan berkata, “Perang dimulai!”
Seketika pecahlah perang Qadisiyyah hingga terbunuhnya Rustum yang menandai
kemenangan pasukan Islam. Pasukan Persia yang jumlahnya jauh lebih besar
berhasil dicerai beraikan oleh pasukan Islam dan jatuhlah Persia ke tangan umat
Muslim.
Hancurnya gembok fitnah
"Kami berada di hadapan
(Khalifah) Umar (bin Khattab). Ia bertanya,”Siapakah di antara kalian yang
hafal hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihiwa sallam tentang fitnah, persis
seperti yang beliau sabdakan?” Hudzaifah berkata, “Saya menjawab,’Saya’.” Umar
berkata,”Sesungguhnya engkau benar-benar berani, bagaimana beliau bersabda?”
Hudzaifah berkata,”Saya menjawab,’Saya mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihiwa sallam bersabda: Fitnah seorang laki-laki di tengah keluarganya,
hartanya, dirinya, anaknya dan tetangganya, dapat dihapuskan dengan puasa,
shalat, shadaqah dan amar ma’ruf nahi mungkar’.”
Umar berkata,”Bukan itu yang aku
kehendaki. Tetapi yang aku kehendaki ialah fitnah yang bergelombang laksana
gelombang lautan.” Hudzaifah berkata,” Maka saya katakan,’Mengapakah engkau
bertanya tentang itu, wahai Amirul Mu’minin?! Sesungguhnya di antara dirimu
dengan fitnah itu terdapat pintu yang tertutup’.”
Umar bertanya,”Apakah pintu itu
akan pecah ataukah (hanya) akan terbuka?” Hudzaifah menjawab,“Tidak, bahkan
pintu itu akan pecah.” Umar berkata,”Itu berarti lebih layak untuk tidak akan
tertutup selama-lamanya.”
Syaqiq berkata,”Kami bertanya kepada Hudzaifah, apakah Umar mengetahui
siapakah pintu itu? Hudzaifah menjawab,“Ya, seperti halnya ia
mengetahui, bahwa sebelum esok adalah malam nanti. Sesungguhnya aku telah
menceritakan kepada Umar hadits yang tidak keliru (betul-betul datangnya dari
Nabi Shallallahu 'alaihiwa sallam).”
Syaqiq berkata lagi,“Selanjutnya
kami segan untuk bertanya kepada Hudzaifah, siapakah pintu itu? Maka kami
berkata kepada Masruq: Tanyakanlah kepada Hudzaifah (tentang siapakah pintu
itu)?” Masruq pun bertanya. Maka Hudzaifah menjawab,“(Ia adalah) Umar.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam
Bukhari, dalam Mawaqit Ash Shalah, no. 525; Fathul Bari II/8, Kitab Az Zakah
no. 1435; Fathul Bari III/301, Kitab Ash Shiyam, no. 1895; Fathul Bari IV/110,
Al Manaqib no. 3586; Fathul Bari VI/603-604, serta dalam Al Fitan no. 7096;
Fathul Bari XIII/48. Juga dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, Al
Fitan, Bab Fi Al Fitnah Allati Tamuuju Ka Mauji Al Bahri, Syarh Nawawi; Khalil
Ma’mun Syiha no 7197 dan lain-lain. Lafadz hadits di atas adalah lafadz Imam
Muslim.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ia melarang tawanan perang yang
telah baligh untuk memasuki Madinah. Hal ini terus berlangsung demikian hingga
Al-Mughirah meminta kepada khalifah Umar untuk mengizinkan budaknya masuk
Madinah dengan tujuan supaya kaum Muslimin dapat mempelajari keahlian sang
budak tersebut. Adalah Abu Lu’lu’ah sang budak milik Al-Mughirah yang mempunyai
suatu keahlian yaitu mampu membuat penggilingan yang menurutnya umat Muslim
perlu belajar darinya.
Abu Lu’lu’ah mampu hidup dengan cukup mapan di Madinah, oleh sebab itu ia
dikenai pajak yang cukup besar namun masih sesuai dengan penghasilan yang ia
miliki perbulannya. Suatu hari Abu Lu’lu’ah mengadu kepada khalifah Umar tentang
pajak yang harus ia bayar. Namun, dengan tegas Umar menolaknya mengingat
besarnya pendapatan Abu Lu’lu’ah. Ia kesal dengan penolakan Umar tersebut. Hingga
suatu hari ia dipanggil oleh khalifah Umar, khalifah Umar berkata, “Telah
sampai kabar kepadaku bahwa engkau mampu membuat penggilingan padi yang diputar
dengan angin.” Abu Lu’lu’ah menjawab, “Aku benar-benar akan membuatnya untukmu
ya Amirul Mu’minin. Kejutan yang akan dibiarkan semua orang.”
Setelah Abu Lu’lu’ah berlalu dari hadapannya, khalifah Umar berkata kepada
orang-orangnya, “Hamba sahaya itu telah mengancamku”
Suatu hari, ketika khalifah Umar hendak mengimami shalat subuh di masjid. Abu
Lu’lu’ah bersembunyi di salah satu sudut masjid dengan sebuah pisau besar
bermata dua. Ia menunggu khalifah Umar sampai ia keluar dari rumah dan
mengimami shalat subuh. Ketika khalifah Umar hendak memulai shalat, Abu Lu’lu’ah
langsung menancapkan mata pisaunya ke tubuh khalifah Umar sebanyak tiga kali. Salah
satu tusukannya mengenai bagian bawah pusar yang nantinya luka inilah yang
menyebabkan khalifah Umar wafat.
Setelah menikam sang khalifah, Abu Lu’lu’ah yang berada ditengah jamaah
Muslimin berupaya untuk melawan dengan menghujamkan pisaunya ke sekitarnya
hingga menewaskan beberapa sahabat serta melukai beberapa yang lainnya. Namun,
tak lama ia langsung berhasil dilumpuhkan. Sadar bahwa ia tak mungkin kabur,
Abu Lu’lu’ah akhirnya menikam dirinya sendiri hingga tewas.
Para ahli sejarah meyakini bahwa motif dibalik teror yang dilancarkan oleh
Abu Lu’lu’ah tersebut adalah dendam. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa ia
dendam lantaran khalifah Umar menolak mengurangi pajak yang dibebankan
kepadanya. Sebagian lagi berpendapat bahwa ia dendam lantaran Persia takluk di
bawah kepemimpinan Umar bin Khattab. Seperti yang diketahui, Abu Lu’lu’ah
adalah seorang tawanan perang asal Persia yang beragama Majusi. Nama asli Abu
Lu’lu’ah adalah Fairuz, seorang Majusi yang fanatik. Ia menyimpan dendam atas penaklukan
Persia dibawah kekhalifahan Umar.
Tidak ada riwayat ataupun catatan sejarah yang menunjukkan keterlibatan
Al-Mughirah dalam kasus ini. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Abu Lu’lu’ah
merupakan seorang yang fanatik. Ia berpura-pura tunduk dengan Islam, namun ia
menyiapkan muslihatnya guna melampiaskan dendam yang ia pendam.
Sedangkan Dr Abdurrahman ‘Umairah dalam bukunya “The Great Knight”
mensinyalir adanya keterlibatan Yahudi dibalik teror Abu Lu’lu’ah tersebut. Ia menyebutkan
bahwa tindakan bunuh diri oleh Abu Lu’lu’ah mengindikasikan bahwa ia berupaya
melindungi rahasia yang takut akan terungkap jika ia tertangkap. Dr Abdurrahman
meyakini adanya kejanggalan dalam peristiwa tersebut. Melihat kondisi umat
Islam yang sedang berada pada masa kejayaannya, bagaimana mungkin seorang
khalifah terbunuh oleh seorang hamba sahaya dan hanya dengan sebilah pisau? Ia percaya
bahwa Abu Lu’lu’ah tidak mungkin mampu melakukannya seorang diri tanpa campur
tangan dari pihak lain. Wallahu a’lam.
Demikianlah sepenggal kisah Al-Mughirah bin Syu’bah bin Abu ‘Amir R.A. Seorang
pahlawan Islam yang gagah perkasa nan cerdik. Ia yang paling bersemangat untuk
menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya sendiri, bahkan sampai
kepada pondasi-pondasinya. Seorang pejuang Panji Tauhid yang senantiasa berdiri
di barisan depan dalam memerangi kemusyrikan dan kedzaliman. Rahimahullah
Al-Mughirah bin Syu’bah bin Abu ‘Amir R.A.
REFERENSI:
‘Umairah, Abdurrahman. 2010. The Great Knight. Diterjemahkan
oleh: Badrudin & Muhyidin. Jakarta: Embun Litera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar