Minggu, 17 Januari 2016

#3 Al-Mughirah bin Syu’bah bin Abu Amir R.A.

Al-Mughirah bin Syu’bah adalah seorang yang gagah berani lagi cerdik. Beliau lahir di Thaif sekitar tahun 20 sebelum Hijriah. Ayah beliau bernama Syu’bah bin Abu ‘Amir yang termasuk salah seorang ilmuan yang mumpuni dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Ibunya seorang wanita keturunan Nashr bin Mu’awiyah. Seorang wanita yang seluruh hidupnya dipersembahkan untuk kebahagiaan suami dan mendidik anak-anaknya.

Kisahnya berawal ketika sekelompok orang dari bani Malik mengirim utusan ke Muqauqis dengan membawa hadiah-hadiah yang mahal. Muqauqis adalah seorang gubernur Romawi yang pada saat itu menduduki Iskandaria di Mesir. Al-Mughirah bersikeras untuk ikut rombongan tersebut meskipun telah dilarang oleh pamannya ‘Urwah bin Mas’ud. Alhasil, Al-Mughirah merupakan satu-satunya orang dari bani Ahlaf yang ikut menemui Muqauqis.

Sepulangnya dari kunjungan tersebut, rombongan yang diikuti Al-Mughirah tersebut berniat untuk pergi ke Thaif guna melaporkan perihal yang mereka alami. Namun, Al-Mughirah berupaya untuk menggagalkan rencana tersebut. Mengingat, ia pergi mengikuti rombongan ke Iskandaria secara diam-diam. Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Busaq, Al-Mughirah yang terkenal cerdik memperdayai orang-orang tersebut lalu membunuhnya dan kemudian mengambil semua barang bawaan mereka. Setelah itu ia pergi ke Madinah untuk menemui Rasulullah SAW dan memeluk Islam.

Setibanya di tempat Rasulullah, Al-Mughirah mendapati Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Al-Mughirah berkata, “Aku datang ke sini untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah pada Islam.”

Abu Bakar ash-Shiddiq bertanya, “Apakah engkau dari Mesir?” Al-Mughirah menjawab, “Iya.” Abu Bakar bertanya lagi, “Apa yang dilakukan orang-orang Maliki terhadapmu?” Al-Mughirah lantas menjawab, “Antara aku dan mereka terdapat perselisihan, padahal kami sama-sama musyrik. Karena itu, aku bunuh mereka. Kurampas barang-barang mereka, kemudian aku menghadap Rasulullah SAW supaya dibagi-bagikan. Karena aku menganggap ini sebagai harta rampasan perang dari orang-orang musyrik sedang aku sebagai seorang Muslim yang membenarkan Rasulullah Muhammad SAW.”

Mendengar pemaparan Al-Mughirah, Rasulullah SAW berkata, “Aku terima keislamanmu. Akan tetapi, barang yang kau rampas tidak akan kuambil. Karena barang tersebut merupakan hasil penipuan dan penipuan merupakan tindakan tercela.” Al-Mughirah bergabung dalam masyarakat Islam sebagai seorang manusia yang baru yang disatukan oleh sesuatu yang berada di langit, yang tak terlihat tetapi selalu mengawasi, ialah Allah SWT.

Perjanjian Hudaibiyah

Peristiwa pertama yang diikuti Al-Mughirah ialah perjanjian genjatan senjata antara pihak Quraisy dengan Rasulullah SAW. Pada saat itu ia ikut bersama Rasulullah dan 700 orang Muslim lainnya berkunjung ke Baitullah untuk beribadah. Ketika telah sampai di suatu tempat bernama Tsaniyyatul Marar, Rasulullah memerintahkan rombongannya untuk beristirahat. Sembari melepas lelah, utusan dari kedua pihak yaitu pihak Quraisy dan pihak Muslim sedang berunding perihal tujuan kedatangan Rasulullah beserta rombongan ke Baitullah.

Datanglah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tasqafi, ia duduk di hadapan Rasulullah kemudian berkata, “Ya Muhammad, kamu mengumpulkan semua suku sebagai umatmu. Kamu datang kepada sukumu untuk menakut-nakuti mereka, suku Quraisy. Suku yang banyak menelurkan pemimpin yang gagah berani. Mereka bersumpah atas nama Allah, agar tidak sejengkal pun yang dapat dimasuki. Demi Allah, mungkin besok kami akan mengizinkanmu untuk memasuki tanah kelahiranmu.”

Seperti kebiasaan bangsa Arab kala itu, ‘Urwah berbicara kepada Rasulullah sambil berusaha menggapai janggut beliau. Namun upayanya itu selalu dihalang-halangi Al-Mughirah sambil berkata, “Lepaskan tanganmu dari Rasulullah. Jika tidak kau lepaskan, maka tanganmu akan kupotong dan tidak akan utuh lagi.” Ujarnya. Ia telah benar-benar melupakan hubungan kekeluargaannya untuk membela Islam dan Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW hanya tersenyum. Kemudian ‘Urwah bertanya, “Siapa dia ini, ya Muhammad?”

Raulullah SAW menjawab, “Ini adalah putra saudaramu, al-Mughirah bin Syu’bah.”

‘Urwah berkata, “Lelucon macam apa ini Muhammad? Hei, kau! Bukankah aku telah membelamu atas penghianatanmu itu?” ujar ‘Urwah merujuk pada tragedi pembunuhan yang dilakukan al-Mughirah di Busaq. ‘Urwah adalah paman al-Mughirah yang turut membelanya atas tragedi tersebut.

Rasulullah kemudian menjawab, “Aku telah menerima keislamannya. Sedang urusan harta yang kau bicarakan itu, aku tidak ikut campur sedikitpun.”

Mendengar pembelaan Rasulullah SAW tersebut, ‘Urwah pun berhenti mengadili Al-Mughirah. Ia lantas beranjak dari hadapan Rasulullah seraya menyaksikan betapa setianya para sahabat Nabi. Jika Rasulullah berwudhu, mereka segera ikut berwudhu. Ketika Rasulullah meludah, mereka segera membersihkannya. Tidak ada satu pun rambut beliau yang rontok melainkan mereka pasti memungutnya.

‘Urwah kembali kepada kaumnya lalu berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya aku telah berkunjung kepada Kisra, Parsi, dan an-Najasyi di istana-istana mereka, tapi tak kudapati seorang raja pun yang sayangnya melebihi sayangnya Muhammad terhadap pengikutnya, sehingga pengikutnya menyerahkan apa saja yang diminta olehnya. Buanglah prasangka buruk kalian.” Jelas ‘Urwah. Sebelumnya memang pihak Quraisy menyangka bahwa kedatangan Rasulullah SAW beserta rombongannya adalah untuk berperang. Namun kesaksian ‘Urwah ini membantah semua prasangka buruk itu.

Mendengar berita tersebut, Suhail bin ‘Amr yang merupakan juru bicara pihak Quraisy diutus untuk mengadakan perjanjian genjatan senjata dengan umat Muslim. Isi perjanjian tersebut ialah sebagai berikut;

“Ini surat perjanjian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin ‘Amr. Mereka sepakat untuk melakukan genjatan senjata selama sepuluh tahun dengan menciptakan rasa aman bagi umat manusia. Pihak Quraisy yang datang ke pihak Muhammad tanpa izin walinya, wajib dikembalikan. Namun, pihak Muhammad yang datang ke pihak Quraisy, maka pihak Quraisy tidak berkewajiban mengembalikannya kepada pihak Muhammad. Tidak ada unsur penipuan dan penghianatan. Orang yang ingin berpihak dengan perjanjian Muhammad dipersilahkan bergabung dan bagi orang yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy, bergabunglah. Orang-orang Khuza’ah bergabung dengan pihak Muhammad, sedangkan kabilah bani Bakar bergabung dengan pihak Quraisy. Pada tahun ini engkau tidak boleh memasuki Mekah dan kembali ke Madinah. Pada tahun yang akan datang, engkau boleh datang kembali dan kami akan keluar. Kamu bersama rombonganmu silahkan memasuki Mekah selama tiga hari tanpa mengeluarkan senjata dari sarungnya.”

Demikianlah secuil peristiwa di balik perjanjian Hudaibiyah yang menunjukkan betapa kokohnya persaudaraan umat Islam yang berjuang di bawah panji Tauhid. Persaudaraan yang diridhai Allah SWT yang ianya membuat gentar musuh-musuh Allah.

Penghancuran berhala-berhala bani Tsaqif

Pasca perang Thaif, bani Tsaqif mengutus delegasi yang dipimpin oleh Abu Yalaili bin Umar ke Madinah untuk menyerahkan diri dan memeluk Islam. Sebelum sampai di Madinah, rombongan bani Tsaqif tersebut terlihat oleh Al-Mughirah yang saat itu sedang menggembalakan kambing dan unta para sahabat Rasulullah SAW. Melihat kedatangan delegasi tersebut, Al-Mughirah langsung bergegas untuk memberitahu Rasulullah. Namun, belum sempat Al-Mughirah menemui Rasulullah SAW, ia dihadang Abu Bakar seraya berkata, “Aku bersumpah kepada Allah agar kamu tidak mendahuluiku untuk menyampaikan berita gembira ini kepada Rasulullah SAW, sehingga aku menjadi orang pertama yang menyampaikan berita gembira kepada beliau.” Al-Mughirah pun menuruti permintaan Abu Bakar.

Abu Bakar segera mengabari Rasulullah tentang kedatangan bani Tsaqif untuk memeluk Islam, sedangkan Al-Mughirah mengantarkan rombongan menuju masjid menemui Rasulullah SAW. Delegasi yang dipimpin Abu Yalaili tersebut bersedia memeluk Islam, namun mereka meminta beberapa syarat kepada Rasulullah SAW. Mereka meminta agar tidak dilibatkan dalam peperangan terlebih dahulu, tidak wajib membayar zakat sepuluh persen, tidak dipaksa untuk bersedekah, tidak mengangkat pemimpin baru bagi mereka, tidak mengusik tuhan-tuhan mereka, dan tidak wajib shalat. Rasulullah SAW pun menanggapi syarat tersebut seraya bersabda, “Kalian tidak boleh mengajak untuk berperang dan membunuh, tidak mengambil sepersepuluh harta kalian, boleh menolak mengeluarkan sedekah dan boleh menolak untuk menjadi tukang tarik sedekah dari kaum lainnya, adapun untuk menghancurkan berhala, kami tetap menuntut dari kalian untuk melakukannya. Adapun shalat, maka agama seseorang tidaklah dianggap baik jika ia tidak melakukan shalat.” Rasulullah melanjutkan, “Sesungguhnya mereka akan bersedekah dan berjuang di jalan Allah bila keimanan mereka telah melekat di dalam hati.”

Benar saja apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Beliau mengutus sekelompok sahabat yang dipimpin Khalid bin Walid untuk menghacurkan berhala-berhala bani Tsaqif di Thaif. Sedang yang termasuk di antara para sahabat tersebut adalah Al-Mughirah yang merupakan orang terpandang di bani Tsaqif. Ia menjadi orang yang paling bersemangat menghacurkan berhala-berhala bani Tsaqif. Al-Mughirah berkata, “Pada hari ini aku benar-benar akan membuat kamu sekalian tertawa atas orang-orang Tsaqif.” Kemudian ia mulai meratakan berhala-berhala itu.

Melihat hal tersebut, orang-orang Tsaqif berkata, “Semoga Allah menjauhkan Al-Mughirah dari kecelakaan karena telah menghancurkan tuhan!” mendengar itu Al- mughirah menjawab, “Hai orang-orang Tsaqif! Sesungguhnya berhala-berhalamu hanyalah terdiri dari batu dan tanah liat. Beribadahlah kepada Allah yang Maha Esa!” al-Mughirah dan para sahabat terus menghancurkan berhala-berhala yang tersisa sampai ke pondasi-pondasinya.

Al-Mughirah dan penaklukan Persia

Pada era kekhalifahan Umar bin Khattab, pasukan Muslim menyerbu Qadisiyyah guna memerangi pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustum. Ketika tiba di Qadisiyyah dan kedua pasukan saling berhadapan, Rustum meminta pasukan Muslim mengirim utusannya untuk diajak berdialog. Pasukan Muslim yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash mengirim Rib'i bin Amir. Pada hari berikutnya Rustum meminta dikirim lagi orang lainnya, Sa'ad mengirim Huzaifah bin Mihsan. Ketika pada hari berikutnya Rustum masih meminta lagi orang lainnya, Sa'ad mengirim Mughirah bin Syu'bah. Mughirah segera memacu tunggangannya membelah kumpulan pasukan Persia tanpa sedikitpun rasa gentar.

Dialog pun terjadi antara Al-Mughirah dengan Rustam. Rustam mempertanyakan perihal motiv daripada invlasi pasukan Islam. Al-Mughirah menjelaskan semuanya dengan baik. Ia menyampaikan pesan tujuan pasukan Islam adalah untuk mengajak Rustam dan penduduknya untuk memeluk Islam. Berbagai pertanyaan dilontarkan Rustam kepada Al-Mughirah dan ia menjawabnya dengan sangat bijak. Akibat dari dialog tersebut, sebagian dari tentara Persia membenarkan dan takjub atas jawaban Al-Mughirah.

Kemudian Al-Mughirah kembali kepada Sa’ad dan berkata, “Perang dimulai!” Seketika pecahlah perang Qadisiyyah hingga terbunuhnya Rustum yang menandai kemenangan pasukan Islam. Pasukan Persia yang jumlahnya jauh lebih besar berhasil dicerai beraikan oleh pasukan Islam dan jatuhlah Persia ke tangan umat Muslim.

Hancurnya gembok fitnah

"Kami berada di hadapan (Khalifah) Umar (bin Khattab). Ia bertanya,”Siapakah di antara kalian yang hafal hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihiwa sallam tentang fitnah, persis seperti yang beliau sabdakan?” Hudzaifah berkata, “Saya menjawab,’Saya’.” Umar berkata,”Sesungguhnya engkau benar-benar berani, bagaimana beliau bersabda?” Hudzaifah berkata,”Saya menjawab,’Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihiwa sallam bersabda: Fitnah seorang laki-laki di tengah keluarganya, hartanya, dirinya, anaknya dan tetangganya, dapat dihapuskan dengan puasa, shalat, shadaqah dan amar ma’ruf nahi mungkar’.”

Umar berkata,”Bukan itu yang aku kehendaki. Tetapi yang aku kehendaki ialah fitnah yang bergelombang laksana gelombang lautan.” Hudzaifah berkata,” Maka saya katakan,’Mengapakah engkau bertanya tentang itu, wahai Amirul Mu’minin?! Sesungguhnya di antara dirimu dengan fitnah itu terdapat pintu yang tertutup’.”

Umar bertanya,”Apakah pintu itu akan pecah ataukah (hanya) akan terbuka?” Hudzaifah menjawab,“Tidak, bahkan pintu itu akan pecah.” Umar berkata,”Itu berarti lebih layak untuk tidak akan tertutup selama-lamanya.”

Syaqiq berkata,”Kami bertanya kepada Hudzaifah, apakah Umar mengetahui siapakah pintu itu? Hudzaifah menjawab,“Ya, seperti halnya ia mengetahui, bahwa sebelum esok adalah malam nanti. Sesungguhnya aku telah menceritakan kepada Umar hadits yang tidak keliru (betul-betul datangnya dari Nabi Shallallahu 'alaihiwa sallam).”

Syaqiq berkata lagi,“Selanjutnya kami segan untuk bertanya kepada Hudzaifah, siapakah pintu itu? Maka kami berkata kepada Masruq: Tanyakanlah kepada Hudzaifah (tentang siapakah pintu itu)?” Masruq pun bertanya. Maka Hudzaifah menjawab,“(Ia adalah) Umar.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari, dalam Mawaqit Ash Shalah, no. 525; Fathul Bari II/8, Kitab Az Zakah no. 1435; Fathul Bari III/301, Kitab Ash Shiyam, no. 1895; Fathul Bari IV/110, Al Manaqib no. 3586; Fathul Bari VI/603-604, serta dalam Al Fitan no. 7096; Fathul Bari XIII/48. Juga dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, Al Fitan, Bab Fi Al Fitnah Allati Tamuuju Ka Mauji Al Bahri, Syarh Nawawi; Khalil Ma’mun Syiha no 7197 dan lain-lain. Lafadz hadits di atas adalah lafadz Imam Muslim.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ia melarang tawanan perang yang telah baligh untuk memasuki Madinah. Hal ini terus berlangsung demikian hingga Al-Mughirah meminta kepada khalifah Umar untuk mengizinkan budaknya masuk Madinah dengan tujuan supaya kaum Muslimin dapat mempelajari keahlian sang budak tersebut. Adalah Abu Lu’lu’ah sang budak milik Al-Mughirah yang mempunyai suatu keahlian yaitu mampu membuat penggilingan yang menurutnya umat Muslim perlu belajar darinya.

Abu Lu’lu’ah mampu hidup dengan cukup mapan di Madinah, oleh sebab itu ia dikenai pajak yang cukup besar namun masih sesuai dengan penghasilan yang ia miliki perbulannya. Suatu hari Abu Lu’lu’ah mengadu kepada khalifah Umar tentang pajak yang harus ia bayar. Namun, dengan tegas Umar menolaknya mengingat besarnya pendapatan Abu Lu’lu’ah. Ia kesal dengan penolakan Umar tersebut. Hingga suatu hari ia dipanggil oleh khalifah Umar, khalifah Umar berkata, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa engkau mampu membuat penggilingan padi yang diputar dengan angin.” Abu Lu’lu’ah menjawab, “Aku benar-benar akan membuatnya untukmu ya Amirul Mu’minin. Kejutan yang akan dibiarkan semua orang.”

Setelah Abu Lu’lu’ah berlalu dari hadapannya, khalifah Umar berkata kepada orang-orangnya, “Hamba sahaya itu telah mengancamku”

Suatu hari, ketika khalifah Umar hendak mengimami shalat subuh di masjid. Abu Lu’lu’ah bersembunyi di salah satu sudut masjid dengan sebuah pisau besar bermata dua. Ia menunggu khalifah Umar sampai ia keluar dari rumah dan mengimami shalat subuh. Ketika khalifah Umar hendak memulai shalat, Abu Lu’lu’ah langsung menancapkan mata pisaunya ke tubuh khalifah Umar sebanyak tiga kali. Salah satu tusukannya mengenai bagian bawah pusar yang nantinya luka inilah yang menyebabkan khalifah Umar wafat.

Setelah menikam sang khalifah, Abu Lu’lu’ah yang berada ditengah jamaah Muslimin berupaya untuk melawan dengan menghujamkan pisaunya ke sekitarnya hingga menewaskan beberapa sahabat serta melukai beberapa yang lainnya. Namun, tak lama ia langsung berhasil dilumpuhkan. Sadar bahwa ia tak mungkin kabur, Abu Lu’lu’ah akhirnya menikam dirinya sendiri hingga tewas.

Para ahli sejarah meyakini bahwa motif dibalik teror yang dilancarkan oleh Abu Lu’lu’ah tersebut adalah dendam. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa ia dendam lantaran khalifah Umar menolak mengurangi pajak yang dibebankan kepadanya. Sebagian lagi berpendapat bahwa ia dendam lantaran Persia takluk di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab. Seperti yang diketahui, Abu Lu’lu’ah adalah seorang tawanan perang asal Persia yang beragama Majusi. Nama asli Abu Lu’lu’ah adalah Fairuz, seorang Majusi yang fanatik. Ia menyimpan dendam atas penaklukan Persia dibawah kekhalifahan Umar.

Tidak ada riwayat ataupun catatan sejarah yang menunjukkan keterlibatan Al-Mughirah dalam kasus ini. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Abu Lu’lu’ah merupakan seorang yang fanatik. Ia berpura-pura tunduk dengan Islam, namun ia menyiapkan muslihatnya guna melampiaskan dendam yang ia pendam.

Sedangkan Dr Abdurrahman ‘Umairah dalam bukunya “The Great Knight” mensinyalir adanya keterlibatan Yahudi dibalik teror Abu Lu’lu’ah tersebut. Ia menyebutkan bahwa tindakan bunuh diri oleh Abu Lu’lu’ah mengindikasikan bahwa ia berupaya melindungi rahasia yang takut akan terungkap jika ia tertangkap. Dr Abdurrahman meyakini adanya kejanggalan dalam peristiwa tersebut. Melihat kondisi umat Islam yang sedang berada pada masa kejayaannya, bagaimana mungkin seorang khalifah terbunuh oleh seorang hamba sahaya dan hanya dengan sebilah pisau? Ia percaya bahwa Abu Lu’lu’ah tidak mungkin mampu melakukannya seorang diri tanpa campur tangan dari pihak lain. Wallahu a’lam.


Demikianlah sepenggal kisah Al-Mughirah bin Syu’bah bin Abu ‘Amir R.A. Seorang pahlawan Islam yang gagah perkasa nan cerdik. Ia yang paling bersemangat untuk menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya sendiri, bahkan sampai kepada pondasi-pondasinya. Seorang pejuang Panji Tauhid yang senantiasa berdiri di barisan depan dalam memerangi kemusyrikan dan kedzaliman. Rahimahullah Al-Mughirah bin Syu’bah bin Abu ‘Amir R.A.

REFERENSI:
‘Umairah, Abdurrahman. 2010. The Great Knight. Diterjemahkan oleh: Badrudin & Muhyidin. Jakarta: Embun Litera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar