‘Utbah bin Usaid Abu Bashir lahir di Mekah. Kediamannya berada di dekat
Masjidil Haram. Beliau dikenal dengan panggilan Abu Bashir. Pada usia remaja
beliau senang mengunjungi Masjidil Haram sekedar berdiam diri di depannya
menyaksikan delegasi-delegasi dari seluruh penjuru Arab yang mengunjungi tanah
suci.
Abu Bashir muda kerap bertanya-tanya perihal apa yang dilakukan orang-orang
yang mengunjungi Ka’bah. Beragam ritual yang dilakukan masyarakat jahiliyah
membuatnya heran. Sering kali ia menanyakan kebiasaan masyarakat jahiliyah
kepada ibunya sepulangnya dari Baitul Haram. Sang ibu menjawab dengan lemah
lembut hingga membuatnya tertidur di pangkuannya. Kemudian sang ibu
menyelimutinya seraya berdo’a “semoga Tuhan Ka’bah menjaga dan memeliharanya”.
Suatu hari Abu Bashir muda menghampiri ibunya dengan perasaan terpukul. Ia
menangis lantaran sedih setelah apa yang ia dapati di Masjidil Haram. Rupanya
ia baru saja menyaksikan hal yang mengerikan. Segerombolan orang sedang menghancurkan
dan merobohkan tembok Ka’bah. “Ibu, mengapa mereka melakukan itu?” tanya Abu
Bashir muda kepada ibunya sembari tersedu-sedu. Seperti biasa sang ibu menjawab
dengan lemah lembut, “Tenanglah nak, mereka hanya sedang memperbaiki Ka’bah
supaya terlihat lebih baik. Supaya tangan-tangan pencuri tak dapat menjarah
intan permata yang terdapat di dalamnya”. Demikianlah, apa yang disaksikan Abu
Bashir muda ialah kegiatan renovasi Ka’bah.
Hingga tiba pada suatu hari terjadi ketegangan antar kabilah. Para pemimpin
Mekah sedang meributkan tentang peletakan Hajar Aswad. Mereka memperebutkan
siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat semula. Pertengkaran ini
kian runyam hingga tak ada pilihan lain selain mengangkat senjata. Namun pada
akhirnya mereka menyepakati untuk menetapkan orang yang pertama masuk masjid
sebagai orang yang menentukan peletakan Hajar Aswad.
Kemudian mereka mendapati Rasulullah Muhammad SAW yang pada saat itu
dekenal sebagai Muhammad al-Amin sebagai orang yang pertama masuk masjid.
Muhammad al-Amin, seorang yang datang dari Batha’ tanpa perjanjian. Seketika
itu pula para kabilah terperanjat dengan keberadaan Muhammad al-Amin hingga
akhirnya mereka menerima keputusan darinya.
Muhammad al-Amin rupanya orang yang tepat, ia sangat bijak menyikapi
masalah ini. Beliau membentangkan kainnya lalu meletakkan Hajar Aswad di
tengah-tengah kain tersebut. Selanjutnya ketua dari setiap kabilah diminta
memegang ujung-ujung kain itu serta kemudian meletakkan Hajar Aswad
bersama-sama ke tempatnya. Bagaikan bara api yang terguyur hujan, ketegangan
dan pertengkaran pun sirna yang kemudian dilanjutkan dengan menyelesaikan
pembangunan Ka’bah.
Melihat kepiawaian Muhammad al-Amin dalam menyelesaikan konflik tersebut,
Abu Bashir terkagum-kagum dan sangat mencintai al-Amin. Seketika itu juga Abu
Bashir menjadikan al-Amin sebagai panutan hidupnya. Ia mengikuti setiap langkah
Muhammad al-Amin. Hingga ketika beliau diangkat menjadi Rasul, tak perlu waktu
yang lama Abu Bashir segera mengikuti dakwah beliau. Setelah seruan pertama
Rasulullah di bukit Shafa yang kala itu beliau menyampaikan firman Allah,
“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) ilah yang
lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab.
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Asy-Syu’ara’ ayat 213-215)
Abu Bashir tak henti-hentinya mengulangi apa yang telah disampaikan
Rasulullah. Firman Allah yang terus terngiang di telinganya hingga menyentuh
relung hatinya yang paling dalam. Seketika itu pula ia bergegas menuju kediaman
Rasulullah dan bersyahadat.
Seiring berjalannya waktu, dakwah Rasulullah semakin eksis. Namun,
meluasnya dakwah Islam juga diberengi dengan kerasnya penolakan oleh kaum kafir
Quraisy yang merasa terganggu dengan semakin meningkatnya pengikut Rasulullah.
Pahitnya penindasan dialami umat Islam yang pada saat itu meyoritas berasal
dari kalangan duafa, budak dan kaum-kaum lemah di Mekah. Namun, derasnya
siksaan kaum kafir Quraisy tak menggoyahkan keimanan umat Islam yang senantisa
yakin akan datangnya pertolongan Allah.
Perlakuan tak manusiawi kaum kafir Quraisy ini mencapai puncaknya ketika
para pemuka Quraisy berkumpul di Darun Nadwah. Mereka merencanakan pembunuhan
terhadap Rasulullah pasca wafatnya paman beliau yang semasa hidupnya senantiasa
melindungi gerakan dakwah Rasulullah. Para pemuka Quraisy ini sepakat untuk
menunjuk satu orang pemuda dari masing-masing kabilah yang gagah perkasa untuk
mencelakai Rasulullah. Hal ini bertujuan supaya menghindari adanya pembalasan
yang mungkin dilakukan oleh bani Hasyim jika Rasulullah terbunuh. Akan tetapi,
Allah Maha Tahu dan senantiasa mengetahui kelicikan kaum kafir Quraisy.
Allah pun mengizinkan Rasulullah beserta segenap pengikutnya untuk
berhijrah ke kota Madinah yang saat itu bernama Yatsrib. Abu Bashir kala itu
belum mengikuti Rasulullah untuk berhijrah dikarenakan beberapa alasan. Namun
ia yakin bahwa Rasulullah pasti akan kembali ke Mekah sebagai seorang penakluk.
Menetapnya Abu Bashir di Mekah bertahan hingga tercapainya perjanjian
antara Rasulullah SAW dengan kaum kafir Quraisy di Hudaibiyah yang di antara
isinya ialah “Muhammad harus mengembalikan orang Mekah yang hijrah ke Madinah
kepada pihak Quraisy. Namun, pihak Quraisy tidak harus mengembalikan muslim
yang murtad dan hijrah ke Mekah kepada Rasulullah SAW”. Selanjutnya, isi
perjanjian inilah yang menyebabkan Abu Bashir berpikir untuk menyusul
Rasulullah SAW ke Madinah dan bergabung dengan umat Muslim yang lainnya. Ia
merasa perjanjian ini tidaklah adil dan hanya sebagai siasat kaum kafir Quraisy
untuk melemahkan Islam. Akhirnya, Abu Bashir pun memutuskan untuk berhijrah ke
Madinah seorang diri.
Sayangnya, pelarian Abu Bashir ke
Madinah tersebut telah disadari oleh pihak kafir Quraisy. Azhar bin Abdu ‘Auf
dan Al-Akhnas bin Syariq menulis surat kepada Nabi SAW dan mengutus seorang
dari banu ‘Amir bin Luay dan seorang budaknya ke Madinah untuk menyampaikan
surat itu. Kedatangan utusan kafir Quraisy ini ke Madinah jelas untuk menjemput
Abu Bashir untuk kembali ke Mekah sebagai tuntutan perjanjian Hudaibiyah yang
telah disepakati.
Sebagai bentuk komitmen
Rasulullah terhadap perjanjian tersebut, dengan berat hati beliau SAW meminta
Abu Bashir untuk pulang ke Mekah. Rasulullah SAW besabda, “Wahai Abu Bashir,
kami telah memberikan hak-hak orang tersebut sebagaimana engkau ketahui, karena
dalam agama ini tidak boleh ada penipuan. Sesungguhnya, Allah akan memberikan
jalan keluar dari kesulitan ini kepadamu dan orang-orang Islam yang bersamamu.
Pergilah kembali ke kaummu (Quraisy)”. Abu Bashir tak langsung mengiyakan
pinta Rasulullah, ia berkata “Ya Rasulullah, apakah engkau akan mengembalikanku
kepada orang-orang musyrik agar mereka dapat memfitnahku dalam agama ini?”
sesalnya. Rasulullah SAW bersabda, “Ya Abu Bashir, pergilah sesungguhnya
Allah pasti memberikan jalan yang terbaik bagimu dan orang-orang Islam lemah
yang bersamamu.” Bujuk Rasulullah.
Akhirnya, dengan penuh sesal Abu
Bashir menerima perintah Rasulullah SAW dan kembali ke Mekah bersama kedua
utusan tersebut. Sepanjang perjalanan kembali ke Mekah, Abu Bashir terus memikirkan
apa yang dikatakan Rasulullah SAW. Sehingganya ia meyakini bahwa Allah akan
senantiasa memberikan pertolongan. Ia pun kemudian menyadari satu hal, yakni
bahwa pertolongan Allah tidak akan pernah ia capai kecuali dengan menjemputnya.
Setelah mereka sampai di Dzul
Hulaifah, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak sekedar untuk beristirahat
dan menyantap perbekalan mereka. Kemudian Abu Bashir bertanya kepada seorang
dari banu ‘Amir (pembawa surat itu) mengenai pedang yang dibawanya. Abu Bashir berkata,
“Apakah pedangmu ini tajam, hai saudara banu ‘Amir?”. Orang itu menjawab, “Ya”.
Abu Bashir bertanya lagi, “Apakah boleh saya melihatnya”. Orang banu ‘Amir itu
menjawab, “Lihatlah, bila kamu ingin melihatnya”. Lalu Abu Bashir pun menghunus
pedang itu, kemudian menusukkannya kepada pemiliknya, maka seketika itu
tewaslah ia.
Melihat
peristiwa itu, budak banu ‘Amir yang bersamanya kemudian lari ketakutan. Ia
melarikan diri kembali ke Madinah untuk melaporkan kejadian itu kepada
Rasulullah. Ia berkata, “Demi Allah, temanku terbunuh oleh Abu Bashir dan aku
pun akan dibunuhnya.” Tak lama berselang, Abu Bashir datang dan berkata, “Ya
Rasulullah SAW, demi Allah, engkau telah memenuhi isi perjanjian itu dengan
mengembalikanku kepada orang-orang Quraisy, dan Allah pun telah memeberikan
pertolongan kepadaku dengan melepaskanku dari cengkeraman mereka.”
Meskipun
demikian, Rasulullah SAW tetap tidak bisa menerima Abu Bashir untuk menetap di
Madinah. Karena hal tersebut dapat merusak perjanjian Hudaibiyah yang telah
disepakati. Abu Bashir pun memahami keputusan beliau. Ia menyadari bahwa
keberadaannya di Madinah hanya akan menodai citra umat Islam. Pada akhirnya ia
meminta izin kepada Rasulullah untuk pergi kemanapun ia suka dan Rasulullah pun
merestuinya.
Abu Bashir
tidak jadi menetap di Madinah, namun ia pun tak sudi untuk kembali ke Mekah
yang masih di bawah kekuasaan kaum kafir Quraisy. Ia memutuskan untuk menetap
di al-‘Aish, satu tempat yang terletak di pinggiran pantai laut merah, yang
merupakan jalur perdagangan orang-orang Quraisy menuju Syam. Al-‘Aish merupakan
objek vital bagi jalur perdagangan dari Mekah ke Syam. Dari sinilah gerakan
perlawanan Abu Bashir dimulai.
Dengan
menduduki jalur perdagangan Quraisy di al-‘Aish, Abu Bashir menghadang
kafilah-kafilah Quraisy yang menuju ke Syam maupun yang kembali dari Syam.
Berita ini lembat laun meluas hingga sampai ke telinga Rasulullah SAW. Beliau
bersabda, “Beruntunglah ibu yang melahirkan putra sebagai pemicu api
peperangan, bila dia bersama para pejuang yang lain” (H.R. Bukhari dalam asy-Syuruuth,
hlm. 15, Abu Daud dalam al-Jihad, hlm. 15, dan Imam Ahmad dalam al-Musnad,
juz 4, hlm. 331)
Berita
tersebut juga sampai kepada orang-orang Islam yang masih di Mekah. Satu per
satu umat Islam di Mekah melarikan diri, namun mereka tak berlari ke Madinah
melainkan bergabung bersama Abu Bashir di al-‘Aish. Semakin hari semakin kuat
kelompok perlawanan yang dipelopori oleh Abu Bashir tersebut. Puncaknya hingga
sekitar 70 umat Islam di bawah pimpinan Abu Jundul Suhail bin ‘Amr keluar dari
Mekah untuk bergabung di al-‘Aish. Dengan demikian, lumpuhlah perekonomian kaum
kafir Quraisy di Mekah. Hal ini karena tak ada lagi logistik yang masuk maupun
keluar dari Mekah akibat blokade yang dilakukan oleh Abu Bashir dan
kawan-kawan.
Mengetahui
perkara ini adalah perkara genting, serombongan delegasi di bawah pimpinan Abu
Sufyan bin Harb datang menghadap Rasulullah SAW. Mereka meminta Rasulullah
untuk membujuk Abu Bashir dan orang-orangnya untuk menghentikan blokade yang
telah membuat orang-orang Quraisy terancam kelaparan. Ia meminta Rasulullah SAW
untuk menerima Abu Bashir dan yang lainnya di Madinah yang menyebabkan batalnya
perjanjian Hudaibiyah.
Rasulullah
SAW bersabda, “Ya Abu Sufyan, bagaimana dengan syarat-syarat perjanjian damai
kita?” tanya beliau. Abu Sufyan tak punya pilihan lain selain memohon dengan
sangat kepada Rasulullah SAW, “Ya Muhammad, kamu orang yang selalu menyambung
silaturahmi, menghormati tamu, dan senantiasa membantu orang-orang yang dalam
kesulitan. Terimalah usul kami. Kasihanilah anak-anak kami. Mereka hidup
kelaparan. Mohon tulislah surat kepada Abu Bashir bahwa dia dan kelompoknya
dikembalikan ke Madinah.” Pinta Abu Sufyan yang ini artinya pihak Quraisy
sendiri yang membatalkan perjanjian Hudaibiyah tersebut.
Rasulullah
pun menyanggupi permintaan pihak Quraisy dan mengirimkan surat kepada Abu
Bashir. Rasulullaah SAW memintanya dan orang-orang yang bersamanya untuk
kembali ke Madinah.
Setelah
menerima surat dari Rasulullah SAW, Abu Bashir jatuh sakit. Ia memegang erat
surat tersebut, membacanya dengan gemetar, berlinang air matanya, dan
meletakkan surat tersebut ke dadanya hingga ia menghembuskan nafas terakhir
sebelum ia sempat bertemu lagi dengan Rasulullah SAW. Rahimahullah ‘Utbah
bin Usaid Abu Bashir.
REFERNSI:
‘Umairah, Abdurrahman. 2010. The
Great Knight. Diterjemahkan oleh: Badrudin & Muhyidin. Jakarta: Embun
Litera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar