Sabtu, 09 Januari 2016

#1 ‘Utbah bin Usaid Abu Bashir R.A.

‘Utbah bin Usaid Abu Bashir lahir di Mekah. Kediamannya berada di dekat Masjidil Haram. Beliau dikenal dengan panggilan Abu Bashir. Pada usia remaja beliau senang mengunjungi Masjidil Haram sekedar berdiam diri di depannya menyaksikan delegasi-delegasi dari seluruh penjuru Arab yang mengunjungi tanah suci.

Abu Bashir muda kerap bertanya-tanya perihal apa yang dilakukan orang-orang yang mengunjungi Ka’bah. Beragam ritual yang dilakukan masyarakat jahiliyah membuatnya heran. Sering kali ia menanyakan kebiasaan masyarakat jahiliyah kepada ibunya sepulangnya dari Baitul Haram. Sang ibu menjawab dengan lemah lembut hingga membuatnya tertidur di pangkuannya. Kemudian sang ibu menyelimutinya seraya berdo’a “semoga Tuhan Ka’bah menjaga dan memeliharanya”.

Suatu hari Abu Bashir muda menghampiri ibunya dengan perasaan terpukul. Ia menangis lantaran sedih setelah apa yang ia dapati di Masjidil Haram. Rupanya ia baru saja menyaksikan hal yang mengerikan. Segerombolan orang sedang menghancurkan dan merobohkan tembok Ka’bah. “Ibu, mengapa mereka melakukan itu?” tanya Abu Bashir muda kepada ibunya sembari tersedu-sedu. Seperti biasa sang ibu menjawab dengan lemah lembut, “Tenanglah nak, mereka hanya sedang memperbaiki Ka’bah supaya terlihat lebih baik. Supaya tangan-tangan pencuri tak dapat menjarah intan permata yang terdapat di dalamnya”. Demikianlah, apa yang disaksikan Abu Bashir muda ialah kegiatan renovasi Ka’bah.

Hingga tiba pada suatu hari terjadi ketegangan antar kabilah. Para pemimpin Mekah sedang meributkan tentang peletakan Hajar Aswad. Mereka memperebutkan siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat semula. Pertengkaran ini kian runyam hingga tak ada pilihan lain selain mengangkat senjata. Namun pada akhirnya mereka menyepakati untuk menetapkan orang yang pertama masuk masjid sebagai orang yang menentukan peletakan Hajar Aswad.

Kemudian mereka mendapati Rasulullah Muhammad SAW yang pada saat itu dekenal sebagai Muhammad al-Amin sebagai orang yang pertama masuk masjid. Muhammad al-Amin, seorang yang datang dari Batha’ tanpa perjanjian. Seketika itu pula para kabilah terperanjat dengan keberadaan Muhammad al-Amin hingga akhirnya mereka menerima keputusan darinya.

Muhammad al-Amin rupanya orang yang tepat, ia sangat bijak menyikapi masalah ini. Beliau membentangkan kainnya lalu meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengah kain tersebut. Selanjutnya ketua dari setiap kabilah diminta memegang ujung-ujung kain itu serta kemudian meletakkan Hajar Aswad bersama-sama ke tempatnya. Bagaikan bara api yang terguyur hujan, ketegangan dan pertengkaran pun sirna yang kemudian dilanjutkan dengan menyelesaikan pembangunan Ka’bah.

Melihat kepiawaian Muhammad al-Amin dalam menyelesaikan konflik tersebut, Abu Bashir terkagum-kagum dan sangat mencintai al-Amin. Seketika itu juga Abu Bashir menjadikan al-Amin sebagai panutan hidupnya. Ia mengikuti setiap langkah Muhammad al-Amin. Hingga ketika beliau diangkat menjadi Rasul, tak perlu waktu yang lama Abu Bashir segera mengikuti dakwah beliau. Setelah seruan pertama Rasulullah di bukit Shafa yang kala itu beliau menyampaikan firman Allah,

“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) ilah yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab. Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Asy-Syu’ara’ ayat 213-215)

Abu Bashir tak henti-hentinya mengulangi apa yang telah disampaikan Rasulullah. Firman Allah yang terus terngiang di telinganya hingga menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Seketika itu pula ia bergegas menuju kediaman Rasulullah dan bersyahadat.

Seiring berjalannya waktu, dakwah Rasulullah semakin eksis. Namun, meluasnya dakwah Islam juga diberengi dengan kerasnya penolakan oleh kaum kafir Quraisy yang merasa terganggu dengan semakin meningkatnya pengikut Rasulullah. Pahitnya penindasan dialami umat Islam yang pada saat itu meyoritas berasal dari kalangan duafa, budak dan kaum-kaum lemah di Mekah. Namun, derasnya siksaan kaum kafir Quraisy tak menggoyahkan keimanan umat Islam yang senantisa yakin akan datangnya pertolongan Allah.

Perlakuan tak manusiawi kaum kafir Quraisy ini mencapai puncaknya ketika para pemuka Quraisy berkumpul di Darun Nadwah. Mereka merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah pasca wafatnya paman beliau yang semasa hidupnya senantiasa melindungi gerakan dakwah Rasulullah. Para pemuka Quraisy ini sepakat untuk menunjuk satu orang pemuda dari masing-masing kabilah yang gagah perkasa untuk mencelakai Rasulullah. Hal ini bertujuan supaya menghindari adanya pembalasan yang mungkin dilakukan oleh bani Hasyim jika Rasulullah terbunuh. Akan tetapi, Allah Maha Tahu dan senantiasa mengetahui kelicikan kaum kafir Quraisy.

Allah pun mengizinkan Rasulullah beserta segenap pengikutnya untuk berhijrah ke kota Madinah yang saat itu bernama Yatsrib. Abu Bashir kala itu belum mengikuti Rasulullah untuk berhijrah dikarenakan beberapa alasan. Namun ia yakin bahwa Rasulullah pasti akan kembali ke Mekah sebagai seorang penakluk.

Menetapnya Abu Bashir di Mekah bertahan hingga tercapainya perjanjian antara Rasulullah SAW dengan kaum kafir Quraisy di Hudaibiyah yang di antara isinya ialah “Muhammad harus mengembalikan orang Mekah yang hijrah ke Madinah kepada pihak Quraisy. Namun, pihak Quraisy tidak harus mengembalikan muslim yang murtad dan hijrah ke Mekah kepada Rasulullah SAW”. Selanjutnya, isi perjanjian inilah yang menyebabkan Abu Bashir berpikir untuk menyusul Rasulullah SAW ke Madinah dan bergabung dengan umat Muslim yang lainnya. Ia merasa perjanjian ini tidaklah adil dan hanya sebagai siasat kaum kafir Quraisy untuk melemahkan Islam. Akhirnya, Abu Bashir pun memutuskan untuk berhijrah ke Madinah seorang diri.

Sayangnya, pelarian Abu Bashir ke Madinah tersebut telah disadari oleh pihak kafir Quraisy. Azhar bin Abdu ‘Auf dan Al-Akhnas bin Syariq menulis surat kepada Nabi SAW dan mengutus seorang dari banu ‘Amir bin Luay dan seorang budaknya ke Madinah untuk menyampaikan surat itu. Kedatangan utusan kafir Quraisy ini ke Madinah jelas untuk menjemput Abu Bashir untuk kembali ke Mekah sebagai tuntutan perjanjian Hudaibiyah yang telah disepakati.

Sebagai bentuk komitmen Rasulullah terhadap perjanjian tersebut, dengan berat hati beliau SAW meminta Abu Bashir untuk pulang ke Mekah. Rasulullah SAW besabda, “Wahai Abu Bashir, kami telah memberikan hak-hak orang tersebut sebagaimana engkau ketahui, karena dalam agama ini tidak boleh ada penipuan. Sesungguhnya, Allah akan memberikan jalan keluar dari kesulitan ini kepadamu dan orang-orang Islam yang bersamamu. Pergilah kembali ke kaummu (Quraisy)”. Abu Bashir tak langsung mengiyakan pinta Rasulullah, ia berkata “Ya Rasulullah, apakah engkau akan mengembalikanku kepada orang-orang musyrik agar mereka dapat memfitnahku dalam agama ini?” sesalnya. Rasulullah SAW bersabda, “Ya Abu Bashir, pergilah sesungguhnya Allah pasti memberikan jalan yang terbaik bagimu dan orang-orang Islam lemah yang bersamamu.” Bujuk Rasulullah.

Akhirnya, dengan penuh sesal Abu Bashir menerima perintah Rasulullah SAW dan kembali ke Mekah bersama kedua utusan tersebut. Sepanjang perjalanan kembali ke Mekah, Abu Bashir terus memikirkan apa yang dikatakan Rasulullah SAW. Sehingganya ia meyakini bahwa Allah akan senantiasa memberikan pertolongan. Ia pun kemudian menyadari satu hal, yakni bahwa pertolongan Allah tidak akan pernah ia capai kecuali dengan menjemputnya.

Setelah mereka sampai di Dzul Hulaifah, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak sekedar untuk beristirahat dan menyantap perbekalan mereka. Kemudian Abu Bashir bertanya kepada seorang dari banu ‘Amir (pembawa surat itu) mengenai pedang yang dibawanya. Abu Bashir berkata, “Apakah pedangmu ini tajam, hai saudara banu ‘Amir?”. Orang itu menjawab, “Ya”. Abu Bashir bertanya lagi, “Apakah boleh saya melihatnya”. Orang banu ‘Amir itu menjawab, “Lihatlah, bila kamu ingin melihatnya”. Lalu Abu Bashir pun menghunus pedang itu, kemudian menusukkannya kepada pemiliknya, maka seketika itu tewaslah ia.

Melihat peristiwa itu, budak banu ‘Amir yang bersamanya kemudian lari ketakutan. Ia melarikan diri kembali ke Madinah untuk melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah. Ia berkata, “Demi Allah, temanku terbunuh oleh Abu Bashir dan aku pun akan dibunuhnya.” Tak lama berselang, Abu Bashir datang dan berkata, “Ya Rasulullah SAW, demi Allah, engkau telah memenuhi isi perjanjian itu dengan mengembalikanku kepada orang-orang Quraisy, dan Allah pun telah memeberikan pertolongan kepadaku dengan melepaskanku dari cengkeraman mereka.”

Meskipun demikian, Rasulullah SAW tetap tidak bisa menerima Abu Bashir untuk menetap di Madinah. Karena hal tersebut dapat merusak perjanjian Hudaibiyah yang telah disepakati. Abu Bashir pun memahami keputusan beliau. Ia menyadari bahwa keberadaannya di Madinah hanya akan menodai citra umat Islam. Pada akhirnya ia meminta izin kepada Rasulullah untuk pergi kemanapun ia suka dan Rasulullah pun merestuinya.

Abu Bashir tidak jadi menetap di Madinah, namun ia pun tak sudi untuk kembali ke Mekah yang masih di bawah kekuasaan kaum kafir Quraisy. Ia memutuskan untuk menetap di al-‘Aish, satu tempat yang terletak di pinggiran pantai laut merah, yang merupakan jalur perdagangan orang-orang Quraisy menuju Syam. Al-‘Aish merupakan objek vital bagi jalur perdagangan dari Mekah ke Syam. Dari sinilah gerakan perlawanan Abu Bashir dimulai.

Dengan menduduki jalur perdagangan Quraisy di al-‘Aish, Abu Bashir menghadang kafilah-kafilah Quraisy yang menuju ke Syam maupun yang kembali dari Syam. Berita ini lembat laun meluas hingga sampai ke telinga Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Beruntunglah ibu yang melahirkan putra sebagai pemicu api peperangan, bila dia bersama para pejuang yang lain” (H.R. Bukhari dalam asy-Syuruuth, hlm. 15, Abu Daud dalam al-Jihad, hlm. 15, dan Imam Ahmad dalam al-Musnad, juz 4, hlm. 331)

Berita tersebut juga sampai kepada orang-orang Islam yang masih di Mekah. Satu per satu umat Islam di Mekah melarikan diri, namun mereka tak berlari ke Madinah melainkan bergabung bersama Abu Bashir di al-‘Aish. Semakin hari semakin kuat kelompok perlawanan yang dipelopori oleh Abu Bashir tersebut. Puncaknya hingga sekitar 70 umat Islam di bawah pimpinan Abu Jundul Suhail bin ‘Amr keluar dari Mekah untuk bergabung di al-‘Aish. Dengan demikian, lumpuhlah perekonomian kaum kafir Quraisy di Mekah. Hal ini karena tak ada lagi logistik yang masuk maupun keluar dari Mekah akibat blokade yang dilakukan oleh Abu Bashir dan kawan-kawan.

Mengetahui perkara ini adalah perkara genting, serombongan delegasi di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb datang menghadap Rasulullah SAW. Mereka meminta Rasulullah untuk membujuk Abu Bashir dan orang-orangnya untuk menghentikan blokade yang telah membuat orang-orang Quraisy terancam kelaparan. Ia meminta Rasulullah SAW untuk menerima Abu Bashir dan yang lainnya di Madinah yang menyebabkan batalnya perjanjian Hudaibiyah.

Rasulullah SAW bersabda, “Ya Abu Sufyan, bagaimana dengan syarat-syarat perjanjian damai kita?” tanya beliau. Abu Sufyan tak punya pilihan lain selain memohon dengan sangat kepada Rasulullah SAW, “Ya Muhammad, kamu orang yang selalu menyambung silaturahmi, menghormati tamu, dan senantiasa membantu orang-orang yang dalam kesulitan. Terimalah usul kami. Kasihanilah anak-anak kami. Mereka hidup kelaparan. Mohon tulislah surat kepada Abu Bashir bahwa dia dan kelompoknya dikembalikan ke Madinah.” Pinta Abu Sufyan yang ini artinya pihak Quraisy sendiri yang membatalkan perjanjian Hudaibiyah tersebut.

Rasulullah pun menyanggupi permintaan pihak Quraisy dan mengirimkan surat kepada Abu Bashir. Rasulullaah SAW memintanya dan orang-orang yang bersamanya untuk kembali ke Madinah.

Setelah menerima surat dari Rasulullah SAW, Abu Bashir jatuh sakit. Ia memegang erat surat tersebut, membacanya dengan gemetar, berlinang air matanya, dan meletakkan surat tersebut ke dadanya hingga ia menghembuskan nafas terakhir sebelum ia sempat bertemu lagi dengan Rasulullah SAW. Rahimahullah ‘Utbah bin Usaid Abu Bashir.

REFERNSI:

‘Umairah, Abdurrahman. 2010. The Great Knight. Diterjemahkan oleh: Badrudin & Muhyidin. Jakarta: Embun Litera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar