Hari Pertama Masuk SMA
Aku Ahmad, anak dari pasangan bapak Sis
dan ibu Isti. Bapakku adalah seorang kepala di sebuah sekolah swasta di mana
aku akan menghabiskan karirku sebagai seorang pelajar SMA. Ya, aku adalah anak seorang
kepala sekolah. Sedang ibuku adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang mengajar
di sebuah SD di kecamatan sebelah. Aku memiliki seorang saudara kandung. Ia
adalah kakakku, Hakim. Kakakku seorang Mahasiswa semester tua di Fakultas
Teknik Komputer di sebuah Perguruan Tinggi swasta. Sedang aku baru saja lulus
SMP dan segera akan menjadi salah satu siswa di SMA yang dikepalai oleh
bapakku. Semua berawal dari hari pertamaku masuk SMA.
Apa yang ada di benak seseorang ketika
menghadapi hari pertamanya masuk SMA? Senang? Deg-degan? Penasaran? Takut?
Malu? Perasaan-perasaan penuh tanya itulah yang biasa terngiang lagi bergejolak
di dalam hati seorang siswa baru. Semua serba baru; seragam baru, tas baru,
buku baru, teman baru, kelas baru, dan tak ketinggalan adalah semangat baru.
Seorang siswa SMA baru, akan merasa terlahir kembali sebagai manusia dengan
seperangkat jati diri yang lain dari sebelumnya. Dinamika psikologis inilah
yang sementara akan membuatnya lupa dengan beragam kisah di masa ketika ia
duduk di bangku SMP. Memorinya semasa SMP akan seketika tergusur rata dengan
suasana hati saat ia menginjakkan langkah pertamanya menuju jenjang SMA.
Beragam siasat ia siapkan guna menghadapi hari bersejarah yang tak akan pernah
tercatat secara resmi dalam dokumen kelulusan itu. Ia akan berusaha untuk tetap
jaim serta sekuat tenaga menutupi karakter aslinya sampai ia merasa
nyaman untuk menunjukkannya. Demikianlah kiranya warna-warni di hari pertama
masuk sekolah.
Namun, semua kegegeran itu tidak terjadi
pada diriku. Hari pertamaku masuk SMA benar-benar bebas dari euforia tersebut.
Kuhinggapi hari itu dengan ekspresi super datar.
Hari itu, hari pertamaku masuk SMA. Ketika
sang fajar menyibakkan tabir kegelapan di ufuk timur, aku segera melompat dari
ranjang lalu kemudian kuraih sehelai kain handuk di gantungan dan aku pun siap
untuk mandi. Namun nampaknya aku kesiangan lagi. Aku beranjak ke kamar mandi
dengan diiringi merdunya omelan ibu.
“Tadi pas orang lagi sibuk bukannya
cepetan mandi malah tidur. Giliran ibu udah mau selesai, mau mandi malah
keduluan kamu yang baru bangun. Gimana ibu gak telat mad... mad...” ujar ibuku,
kesal.
Wajar saja ibuku protes setiap pagi,
pasalnya ia sudah sibuk mempersiapkan segalanya dari sebelum azan subuh
berkumandang. Namun selalu saja semua kerepotannya itu berakhir dengan
mengantri di depan kamar mandi menungguku selesai mandi. Aku pun sebenarnya
selalu bangun seketika azan berkumandang. Bagaimana tidak, setiap azan subuh,
pintu kamarku senantiasa menggelegar bak guntur di tengah pekatnya awan. Hal
ini karena bapak tak pernah bosan membangunkan anaknya guna menunaikan shalat
subuh berjamaah di Mushola depan rumahku. Sehingga aku sudah tak memerlukan
alarm lagi untuk bangun di waktu subuh. Sebab pintu kamarku sudah menjadi alarm
otomatis tanpa setelan yang setiap harinya digedor bapak. Sepintas memang
terlihat disiplin, tapi kebiasaan burukku semenjak SMP seolah menafikkan semua itu.
Aku terbiasa tidur lagi seusai menunaikan shalat subuh. Gara-gara kebiasaan
inilah, meskipun aku bangun setiap subuh, aku masih saja sering terlambat ke
sekolah.
Tak ada yang istimewa di hari pertamaku
masuk SMA. Aku masih bersama dengan kebiasaan burukku serta tetap melestarikan
dandananku yang compang-camping. Selevel anak baru sepertiku, aku terkesan
cukup ndugal. Rambutku gondrong dan berponi, di masaku SMA memang sedang
ngetrend cowok berambut poni. Leher dan pergelangan tanganku berhias aneka
kalung dan gelang. Benar-benar bukan penampilan seorang yang siap menghadapi
masa depan. Semua perangkat sekolahku pun tak ada yang baru. Aku masih memakai
seragam SMP ku yang telah kulucuti atributnya sehingga nampaklah sebuah kemeja
putih polos, sepasang sepatu putih kebanggaanku semenjak SMP, serta tas coklat
kesayanganku yang kumiliki dua tahun silam sebagai hadiah dari calon kakak
iparku. Semua itu bukan karena orang tuaku yang tak mampu membelikanku
peralatan sekolah yang baru, namun aku sengaja menolak untuk dibelikan yang
baru. Bagiku, tak perlu beli barang baru jika yang lama masih nyaman dipakai.
Hanya celanaku yang baru, karena memang sudah harus berganti warna yang tadinya
biru menjadi abu-abu.
Usai mengenakan pakaianku, aku langsung
meluncur ke meja makan untuk sarapan. Pada dasarnya aku orang yang senang jajan
di luar, meskipun demikian aku tak pernah ingin melewatkan menu sarapan yang
telah disediakan ibuku sejak dini hari. Bapak dan ibuku adalah orang-orang yang
sederhana. Mereka tak perlu waktu lama hanya sekedar untuk mandi dan menata
penampilan. Sehingganya ketika aku sedang menikmati sarapan pagiku, mereka
sudah lebih dulu berangkat ke sekolahnya masing-masing. Sedangkan aku, aku
selalu menjadi penghuni terakhir yang bertugas mengunci pintu rumah ketika
semua penghuninya berangkat beraktifitas. Bapak ibuku memang sepasang suami
istri yang harmonis dan tetap romantis meskipun usianya sudah hampir kepala
lima. Setiap pagi bapak selalu membonceng ibuku dan mengantarkannya ke sekolah
tempat ibuku mengajar yang terletak di kecamatan sebelah, sekitar lima
kilometer dari kediaman kami. Ketika ibu pulang sekolah pun bapak selalu
menyempatkan untuk menjemputnya meskipun kadang beliau masih mengajar di kelas.
Setelah aku menghabiskan sarapanku, aku
langsung mencuci piring dan sendok yang telah kupakai. Ini memang sudah menjadi
kebiasaan dalam keluarga kami, habis makan langsung cuci sendiri. Kemudian aku
pun berangkat sekolah. Meskipun waktu telah menunjukkan bahwa aku hampir
terlambat, namun tak ada kekhawatiran yang membuatku bergerak lebih cepat. Aku
tetap berjalan melenggang dengan santainya menuju sekolah yang hanya berjarak
sekitar seratus meter dari rumahku tanpa takut akan dihukum jika terlambat. Aku
yakin bahwa aku tidak akan dihukum ataupun dimarahi.
“Aku kan anak baru, belum tahu aturan.
Lagipula yang menyambut juga pasti orang itu-itu aja.” Gumamku remeh.
Aku memasuki halaman sekolah seolah dengan
tanpa ada semangat juang. Benar saja, meskipun aku adalah murid baru, tapi tak
ada suasana dan hal yang baru di sepanjang mata memandang. Pasalnya, SMA
tempatku kini bersekolah adalah masih berada di bawah payung yayasan yang sama
dengan SMP ku dahulu. Keduanya merupakan amal usaha milik salah satu ormas
terbesar di Indonesia, Muhammadiyah. Bahkan letak keduanya pun berjejer dan
hanya dipisahkan oleh jalan setapak. Tak heran banyak orang sering mengatakan
bahwa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, aku hanya perlu melompati pagar
dan berganti kostum bak Satria Baja Hitam. Begitulah kiranya ejekan-ejekan
mereka meremehkan kredibilitas riwayat pendidikanku. Namun aku tak pernah
menanggapinya dengan serius, kuanggap semua itu sebagai gurauan belaka dan
mungkin mereka memang hanya bergurau. Dan semua fakta itulah yang menjadikan SMA
ku ini sudah nampak sangat familiar bagiku, karena memang aku sudah sering
nongkrong di dalamnya. Sebelum aku terdaftar sebagai murid pun aku sudah banyak
teman, aku sudah sangat akrab dengan kakak-kakak kelasku. Kami sudah sangat
sering nongkrong bareng, ditambah kami sudah terlebih dahulu akrab sebagai
anggota Marching Band, satu-satunya kegiatan ekstrakurikuler yang kami miliki.
Adalah keinginan bapakku untuk tetap menyekolahkanku
di sekolah Muhammadiyah. Aku tidak berontak sedikitpun, meskipun orang-orang di
luar sana tak henti-hentinya mengomporiku agar aku terpukau dengan hebatnya
sekolah-sekolah lain. Aku sangat menyadari bahwa apa yang dilakukan bapakku
adalah wujud dari sebuah komitmen yang kuat bagi seorang pemimpin sekaligus
anggota persyarikatan. Beliau sangat mencintai persyarikatannya dan aku
menghargai itu. Bapak tak seperti petinggi-petinggi Muhammadiyah yang lainnya
yang dengan gegap gempita menyuarakan untuk senantiasa memakmurkan amal usaha
persyarikatan, namun di sisi lain anak-anak mereka tak ada satu pun yang
mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Cuiih! Aku sangat
membenci kemunafikan mereka itu. Bahkan tak jarang mereka meremehkan serta
merendahkan kredibilitas para siswa binaan sekolah yang mereka bangun sendiri.
Apakah mereka sudah kehilangan akal? Mengapa tidak bertindak konkret saja?
Daripada sekedar melontarkan kritik yang justru melemahkan mental orang-orang
yang sedang berjuang demi meninggikan idealisme mereka. Itulah segenap ironi
yang begitu menyayat hatiku. Sebuah ironi yang telah menebar keputusasaan,
memicu segenap amarah, kebencian, dendam dan kesedihan bercampur lagi
menggumpal di relung hati seorang anak ingusan sepertiku.
Derap langkahku semakin lunglai tatkala
aku memandangi kondisi fisik sekolahku yang sudah hampir roboh. Atapnya bocor,
sebagian dindingnya kusam dan retak, serta langit-langitnya yang berhiaskan
lubang yang bahkan tikus pun tak sudi menghuni rongga atapnya. Belum lagi kamar
mandi siswa yang sudah tak layak pakai. Sekedar ingin buang air saja kami sudah
dihadapkan oleh dua pilihan, ditahan atau harus mencari tebengan di rumah-rumah
penduduk sekitar sekolah. Ketika pandangan mataku terhenti di sebuah kelas yang
nantinya akan menjadi ruang belajarku, semangatku pun semakin hancur
berkeping-keping. Bagaimana tidak, kelasku lebih cocok disebut gudang ketimbang
disebut medan belajar.
Beruntung, hari itu aku tidak terlambat.
Aku masih sempat nongkrong untuk sekedar ngobrol dan bercengkerama dengan
kakak-kakak kelasku. Ya, begitulah aku. Bukannya aku berbaur dengan teman-teman
sekelasku yang sama-sama anak baru, tapi malah bergabung dengan kakak-kakak
kelasku. Mau bagaimana lagi? Aku sudah lebih dulu kenal dan nyaman dengan
mereka. Wajahku sudah sangat tidak asing bagi hampir seluruh warga sekolah.
Kecuali bagi murid-murid baru yang bukan berasal dari SMP ku, mereka mengira
aku juga kakak kelas mereka. Aku pun asyik ngerumpi dengan kakak-kakak kelasku
sembari menunggu bel berbunyi. Saat itu yang menyambutku adalah Beni, Sholihin,
dan Hendri.
“Welcome bro! Hahaha.” Sapa Beni dengan
senyum yang mengejek, seolah ia tahu betul isi otakku.
“Welcome pale lu? Gua cuman lompat pager
lu bilang welcome.” Sautku.
Beni semakin girang mendengar responku,
“Wuis! Kalem mamen, terima saja nasibmu. Hahah.” Pungkasnya, kemudian ia
bertanya, “Berapa jumlahnya adik kelas gua ini?”
Sial, dia semakin jadi membuly ku. Aku
seolah menjadi lebih rendah di hadapan mereka karena aku anak baru. Mereka
memang suka keterlaluan bercandanya, namun aku sudah sangat terbiasa dengan
bulyan mereka. Aku tak sedikitpun tersinggung, karena biasanya aku yang lebih
banyak membuly mereka. Tapi kali ini, kubiarkan mereka menang.
“Nah? Menegetehe? Yang punya wilayah kan
elu.” Jawabku sembari mengerutkan dahi dengan ekspresi keheranan.
“Yaelah... gimana toh mad? Kamu sih,
bukannya campur sama-sama anak baru malah kumpul sama kakak kelas. Ngelunjak!”
ujar Sholihin yang tak mau ketinggalan membulyku.
“Hahaha... iya nih anak ngelunjak,
harusnya cium tangan kakak dulu dong!” saut Hendri ikut-ikutan.
“Kampret! Iya kakak... ampun... kakak...”
jawabku atas bulyan mereka yang seketika meledakkan gelar tawa kami.
“Eh, tapi anak baru di kelas lu ada yang
cantik loh mad.” sambung Beni.
“Ih, emang gue pikirin? Ya elu sono kalo
lu doyan. Ngapa kudu lapor sama gue?” jawabku.
“Ya kan entar elu sekelas sama dia,
kenalin lah sama gue.” Rayu Beni.
“Yee... ogah... lu kata gua makelar cewek
apa?” jawabku.
“Oke, tapi awas ya kalo lu naksir!” kata
Beni mengancam.
“Iya... iya... ndak bakal. Yang penting lu
kudu bayar upeti sama kelas gue. Hahaha.” Sautku balik mengancam.
“Sial nih bocah, mau morotin gue?” jawab
Beni mengakhiri rumpian kami pagi itu.
Tak lama berselang, dering bel sekolah
menggema di antara ruang-ruang kelas. Aku beranjak ke ruang kelasku dan seperti
yang sudah kubayangkan sebelumnya, banyak bangku kosong tak berpenghuni di
dalam kelasku. Siswa baru tahun ini hanya terdiri kurang dari lima belas siswa
termasuk aku. Sebenarnya ada sebanyak dua puluh tujuh siswa yang terdaftar,
namun hanya segelintir itulah yang tak mengu-rungkan niatnya. Belum lagi
seleksi alam yang mungkin akan kami hadapi. Tapi aku sudah sangat siap dan
terbiasa menghadapi ini. Lagipula teman-temanku di luar sekolah banyak, jadi
aku tak risau dengan kondisi ini.
Hari itu, kegiatan kami hanyalah sekedar
perkenalan sebagai bagian dari agenda Masa Orientasi Sekolah (MOS). Sebenarnya,
sekolah-sekolah Muhammadiyah pada dasarnya memiliki istilah sendiri untuk kegiatan
orientasi. Namun, kemunduran yang sangat signifikan bagi sekolah kami
menyebabkan sekolah kami harus mengadopsi istilah atau simbol-simbol
sekolah-sekolah pada umumnya seperti MOS untuk kegiatan orientasi siswa dan
OSIS sebagai organisasi eksekutif siswa. Kelak, perombakan istilah dan
simbol-simbol tersebut akan menjadi penanda bahwa pernah terjadi kobaran
revolusi di sekolah melalui tangan-tangan generasi kami.
Kemunduran besar ini juga menyebabkan
pudarnya esensi sejarah di mana sekolah kami dahulunya pernah menjadi sekolah
terbesar dan terbaik. Banyak tokoh-tokoh besar dan berpengaruh lahir dari sini.
Ironisnya, kini hampir tak seorang pun mengakui catatan emas itu termasuk
petinggi persyarikatan sendiri.
Implementasi kegiatan orientasi di sekolah
kami berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada saat itu. Saat itu,
praktik-praktik intimidasi dalam kegiatan orientasi masih sangat lumrah dan
bebas. Namun sekolah kami nampaknya sudah lebih maju dengan meniadakan sama
sekali hal-hal tersebut. Bentuk orientasi yang demikian tentunya menuntut
fasilitator kegiatan untuk lebih ekstra dalam berkreatifitas. Tujuannya adalah
menciptakan kegiatan orientasi yang menyenangkan tanpa unsur penindasan.
Tentunya ini tidaklah mudah bagi penyelenggara kegiatan orientasi. Bayangkan,
dengan pelbagai batasan-batasan tersebut, kegiatan orientasi harus meriah dan
tidak membosankan. Apalagi kala itu konsep kegiatan orientasi siswa baru yang
seperti ini masih sangat asing, sedangkan kecenderungan masyarakat adalah
mengikuti bahkan membenarkan budaya yang populer berdasarkan
indikator-indikator yang tak jelas. Namun bagiku, kreatifitas yang dibangun di
tengah keterbatasan akan menghasilkan output yang lebih bermanfaat dan memiliki
esensi lebih besar ketimbang yang dimanjakan oleh kebebasan tanpa batas.
Demikian jugalah Islam, segala batasan-batasan ketat yang diatur dalam agama
ini sejatinya bukanlah untuk membatasi ruang berfikir manusia. Sebaliknya, hal
tersebut justru ada untuk memaksimalkan akal manusia. Dengan menjunjung tinggi batasan-batasan
tersebut, manusia menjadi lebih bijak dalam memilih tindakan. Orang yang
terbiasa disiplin akan lebih bijaksana ketimbang orang yang terbiasa hidup
tanpa aturan.
Tapi saat itu aku bukanlah seorang yang
memiliki cinta yang mendalam kepada Islam. Ilmu yang kumiliki hanya tersendat
di dalam memori saja dan tak pernah meresap ke relung hati. Sehingga saat itu
aku masih sangat mengesampingkan kebenaran itu.
Sebelum materi orientasi dimulai, kami
disambut oleh kakak-kakak kelas kami sebagai tahap warming up sebelum
kami dihadapkan dengan materi orientasi yang menjenuhkan. Namun sepertinya
kakak-kakak kelas kami tak memahami konsep di atas. Alhasil tahap warming up
yang mereka sajikan pun tak kalah menjenuhkan. Hal ini membuatku terkekeh
dalam hati. Betapa lemahnya cara berpikir kami kala itu.
Termasuk yang mengisi tahap warming up itu
adalah Beni, temanku yang mengobrol bersamaku sebelum masuk kelas. Ia ditemani
teman-teman sekelasnya yang perempuan. Melihat ini, aku semakin menyepelekan.
Aku melayangkan protes terhadap penyajian mereka, namun bukan dengan kata-kata
melainkan dengan tindakan. Di tengah-tengah jam warming up itu, aku
menaikkan kakiku dan duduk jegang di atas bangkuku. Berulang kali kakak-kakak
kelas perempuanku yang juga kukenal akrab menegurku dengan lembut, namun tak
membuatku menghentikan aksiku. Hingga pada akhirnya Beni sendiri yang turun
tangan dan menghampiriku yang memilih duduk di barisan bangku paling belakang.
“Bro, turunin dulu tu kaki. Kooperatif
dikit lah, ini kan di kelas bro. Jangan malu-maluin gue lah.” Bujuk Beni dengan
tanpa amarah.
Akhirnya aku turuti pintanya. Kuikuti
tahap itu dengan tidak berulah lagi. Jikalau bukan temanku sendiri yang
meminta, mungkin aku akan tetap berulah hingga akhir kelas.
Seusai warming up selesai, masuklah
seorang guru untuk mengisi materi orientasi. Awalnya aku antusias mengikuti
materi yang disampaikannya. Namun, teknik mengelola kelasnya yang sangat klasik
membuatku ingin cepat-cepat keluar dari kelas itu. Beliau hanya ceramah saja sepanjang
waktu yang disediakan. Kelas itu tak ubahnya seperti khutbah Jum’at. Saking
jenuhnya, kuletakkan kepalaku di atas meja hingga akhir jam.
Segala titik penat yang menggumpal
seketika pudar setelah terdengar bunyi bel sekolah tanda tibanya waktu istirahat.
Aku segera melangkah meninggalkan kelas dan kutengok kanan kiri mencari Beni.
Kupikir akan menyenangkan menghabiskan jam istirahat dengannya dan
teman-temannya. Tak lama ia menghampiriku dan mengajakku pergi ke kantin yang
terletak di halaman belakang sekolah. Tanpa pikir panjang, kupenuhi ajakannya.
Sesampainya di kantin, memori tentang
penatnya kelas yang baru saja kulewati seolah tak lagi terngiang setelah
kudapati kakak-kakak kelasku yang juga teman-teman nongkrongku di luar sekolah
di kantin itu. Geladak gelar tawa meramaikan suasana hatiku yang tak menentu.
Tingkah-tingkah konyol dan keakraban kami sejenak memudarkan aura pesimistik
dalam jiwaku.
Kupikir aku akan menjalani hari itu dengan
atmosfer keputus-asaan hingga akhir jam sekolah. Namun, jam istirahat itu cukup
untuk mewarnai hariku dengan sedikit goresan keceriaan di dalamnya. Keceriaanku
di kantin sekolah pada hari itu semakin lengkap manakala teman-temanku
mentraktirku untuk jajan. Semangkuk syomai, segelas es teh, dan sebatang rokok
ketengan menjadi jamuan istimewa untukku hari itu. Mereka memperlakukanku
seolah aku ini adalah seorang bos mafia. Fenomena seperti ini mungkin akan
sangat sulit ditemui di sekolah-sekolah lain. Seorang anak baru diperlakukan
seperti raja oleh senior-seniornya. Namun, untukku itu bukan hal yang aneh.
Mereka memperlakukanku sedemikian mulia pasti bukan tanpa alasan. Tak heran
jika sampai semuluk itu, karena aku adalah anak seorang kepala sekolah. Ya,
pada dasarnya aku membenci statusku sebagai anak kepala sekolah. Namun, tak
kupungkiri pula bahwa dalam beberapa kasus aku sangat menikmatinya. Selain itu,
peranku yang sangat vokal dalam ekstrakurikuler Drum Band di mana kami semua
(siswa SMP dan SMA) terhimpun di dalamnya dapat juga menjadi sebab. Tapi tetap
saja, aku tak menyukai statusku sebagai anak kepala sekolah. Apa hebatnya
dikenal karena kebesaran nama bapaknya? Meskipun kuawali hariku dengan penuh
keputusasaan dan sikap pesimis, dalam relung hati terselip sepercik tekad untuk
mengukir namaku sendiri dengan tanganku sendiri. Aku hanya perlu memikirkan
caranya.
Hingga yang terpikir di benakku kala itu
adalah bahwa aku dikenal karena kebesaran dan kekuasaan bapakku. Jika aku
berprestasi, maka orang menganggapnya suatu hal yang wajar. Orang pasti
berpikir bahwa segala tindak tandukku adalah disetir dan diawasi oleh bapakku.
Mindset seperti inilah yang sangat ingin kubongkar. Satu-satunya cara yang bisa
membalikkan persepsi itu adalah dengan menyelisihi tiap langkah yang ditempuh
oleh pihak yang dianggap sebagai mobilisator. Masalahnya adalah langkah
kontrastif seperti apa yang paling baik? Di awal-awal karirku sebagai siswa
SMA, aku sempat salah merefleksikan pemikiran tersebut dengan tendensi-tendensi
yang negatif. Hal inilah yang melatar-belakangi kenakalan-kenakalanku semasa
sekolah. Kenakalan-kena-kalan itu kulakukan semata untuk membebaskanku dari
kekangan nama besar bapakku. Aku hanya ingin BEBAS! Begitulah cermin
kecerobohanku kala itu.
Demikianlah yang kudapat di hari pertamaku
masuk SMA. Setelah jam istirahat selesai, aku kembali ke kelas dan mengikuti
materi orientasi yang terakhir yang sama membosankannya seperti materi-materi
sebelumnya hingga waktu dzuhur. Ketika waktu dzuhur tiba, sebagai aturan di
sekolah kami, semua warga sekolah harus mengikuti sholat berjamaah di masjid
yang terletak di komplek pendidikan Muhammadiyah itu. Namun, kebetulan kala itu
ketertiban dan pengawasan di sekolah kami sangatlah lemah dan nampaknya kejenuhan
dan kepenatan di kelas dapat berakibat pada kelelahan fisik. Jadi, kuputuskan
untuk bolos sholat berjamaah dan segera pulang ke rumah dan sholat sendirian di
rumah. Karena lemahnya pengawasan guru, aku dan teman-temanku bisa sangat
leluasa untuk membolos.
Hari pertama itu cukup melelahkan bagiku.
Meskipun tak ada aktifitas fisik yang berarti, namun lingkungan sekolah yang
sepi serta materi-materi orientasi yang menjemuhkan membuat siswa terutama aku
menjadi tidak betah untuk berlama-lama disekolah. Jikalau saja fasilitas
disekolahku lengkap dan memiliki banyak murid, tentu suasananya akan sangat
berbeda. Namun, apakah fasilitas menjadi syarat mutlak untuk dapat menawan hati
para siswa? Jika harus demikian, maka habislah sekolah-sekolah miskin seperti
sekolah kami ini. Sekolah tua yang dikelilingi oleh sekolah-sekolah besar
dengan beragam fasilitas yang ditawarkan. Sekolah yang mau menampung anak-anak
usia sekolah yang tak mampu baik secara materi maupun prestasi. Di saat
sekolah-sekolah Negeri hanya menampung siswa yang memiliki kecerdasan dan
prestasi, kemudian sekolah-sekolah swasta yang punya cukup fasilitas hanya
menerima siswa yang berduit, lantas bagaimana dengan anak-anak usia sekolah
yang kurang cerdas dan tidak mampu secara materi? Kalaupun mereka masuk ke
sekolah miskin seperti sekolah kami, mereka harus siap untuk direndahkan,
diremehkan, dan dipandang sebelah mata. Lagipula, sekolah-sekolah hari ini
terlihat lebih seperti pedagang jasa daripada pejuang pendidikan.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar