Sabtu, 13 Februari 2016

Di Bawah Panji Kuning #1

Hari Pertama Masuk SMA

Aku Ahmad, anak dari pasangan bapak Sis dan ibu Isti. Bapakku adalah seorang kepala di sebuah sekolah swasta di mana aku akan menghabiskan karirku sebagai seorang pelajar SMA. Ya, aku adalah anak seorang kepala sekolah. Sedang ibuku adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang mengajar di sebuah SD di kecamatan sebelah. Aku memiliki seorang saudara kandung. Ia adalah kakakku, Hakim. Kakakku seorang Mahasiswa semester tua di Fakultas Teknik Komputer di sebuah Perguruan Tinggi swasta. Sedang aku baru saja lulus SMP dan segera akan menjadi salah satu siswa di SMA yang dikepalai oleh bapakku. Semua berawal dari hari pertamaku masuk SMA.

Apa yang ada di benak seseorang ketika menghadapi hari pertamanya masuk SMA? Senang? Deg-degan? Penasaran? Takut? Malu? Perasaan-perasaan penuh tanya itulah yang biasa terngiang lagi bergejolak di dalam hati seorang siswa baru. Semua serba baru; seragam baru, tas baru, buku baru, teman baru, kelas baru, dan tak ketinggalan adalah semangat baru. Seorang siswa SMA baru, akan merasa terlahir kembali sebagai manusia dengan seperangkat jati diri yang lain dari sebelumnya. Dinamika psikologis inilah yang sementara akan membuatnya lupa dengan beragam kisah di masa ketika ia duduk di bangku SMP. Memorinya semasa SMP akan seketika tergusur rata dengan suasana hati saat ia menginjakkan langkah pertamanya menuju jenjang SMA. Beragam siasat ia siapkan guna menghadapi hari bersejarah yang tak akan pernah tercatat secara resmi dalam dokumen kelulusan itu. Ia akan berusaha untuk tetap jaim serta sekuat tenaga menutupi karakter aslinya sampai ia merasa nyaman untuk menunjukkannya. Demikianlah kiranya warna-warni di hari pertama masuk sekolah.

Namun, semua kegegeran itu tidak terjadi pada diriku. Hari pertamaku masuk SMA benar-benar bebas dari euforia tersebut. Kuhinggapi hari itu dengan ekspresi super datar.

Hari itu, hari pertamaku masuk SMA. Ketika sang fajar menyibakkan tabir kegelapan di ufuk timur, aku segera melompat dari ranjang lalu kemudian kuraih sehelai kain handuk di gantungan dan aku pun siap untuk mandi. Namun nampaknya aku kesiangan lagi. Aku beranjak ke kamar mandi dengan diiringi merdunya omelan ibu.

“Tadi pas orang lagi sibuk bukannya cepetan mandi malah tidur. Giliran ibu udah mau selesai, mau mandi malah keduluan kamu yang baru bangun. Gimana ibu gak telat mad... mad...” ujar ibuku, kesal.

Wajar saja ibuku protes setiap pagi, pasalnya ia sudah sibuk mempersiapkan segalanya dari sebelum azan subuh berkumandang. Namun selalu saja semua kerepotannya itu berakhir dengan mengantri di depan kamar mandi menungguku selesai mandi. Aku pun sebenarnya selalu bangun seketika azan berkumandang. Bagaimana tidak, setiap azan subuh, pintu kamarku senantiasa menggelegar bak guntur di tengah pekatnya awan. Hal ini karena bapak tak pernah bosan membangunkan anaknya guna menunaikan shalat subuh berjamaah di Mushola depan rumahku. Sehingga aku sudah tak memerlukan alarm lagi untuk bangun di waktu subuh. Sebab pintu kamarku sudah menjadi alarm otomatis tanpa setelan yang setiap harinya digedor bapak. Sepintas memang terlihat disiplin, tapi kebiasaan burukku semenjak SMP seolah menafikkan semua itu. Aku terbiasa tidur lagi seusai menunaikan shalat subuh. Gara-gara kebiasaan inilah, meskipun aku bangun setiap subuh, aku masih saja sering terlambat ke sekolah.

Tak ada yang istimewa di hari pertamaku masuk SMA. Aku masih bersama dengan kebiasaan burukku serta tetap melestarikan dandananku yang compang-camping. Selevel anak baru sepertiku, aku terkesan cukup ndugal. Rambutku gondrong dan berponi, di masaku SMA memang sedang ngetrend cowok berambut poni. Leher dan pergelangan tanganku berhias aneka kalung dan gelang. Benar-benar bukan penampilan seorang yang siap menghadapi masa depan. Semua perangkat sekolahku pun tak ada yang baru. Aku masih memakai seragam SMP ku yang telah kulucuti atributnya sehingga nampaklah sebuah kemeja putih polos, sepasang sepatu putih kebanggaanku semenjak SMP, serta tas coklat kesayanganku yang kumiliki dua tahun silam sebagai hadiah dari calon kakak iparku. Semua itu bukan karena orang tuaku yang tak mampu membelikanku peralatan sekolah yang baru, namun aku sengaja menolak untuk dibelikan yang baru. Bagiku, tak perlu beli barang baru jika yang lama masih nyaman dipakai. Hanya celanaku yang baru, karena memang sudah harus berganti warna yang tadinya biru menjadi abu-abu.

Usai mengenakan pakaianku, aku langsung meluncur ke meja makan untuk sarapan. Pada dasarnya aku orang yang senang jajan di luar, meskipun demikian aku tak pernah ingin melewatkan menu sarapan yang telah disediakan ibuku sejak dini hari. Bapak dan ibuku adalah orang-orang yang sederhana. Mereka tak perlu waktu lama hanya sekedar untuk mandi dan menata penampilan. Sehingganya ketika aku sedang menikmati sarapan pagiku, mereka sudah lebih dulu berangkat ke sekolahnya masing-masing. Sedangkan aku, aku selalu menjadi penghuni terakhir yang bertugas mengunci pintu rumah ketika semua penghuninya berangkat beraktifitas. Bapak ibuku memang sepasang suami istri yang harmonis dan tetap romantis meskipun usianya sudah hampir kepala lima. Setiap pagi bapak selalu membonceng ibuku dan mengantarkannya ke sekolah tempat ibuku mengajar yang terletak di kecamatan sebelah, sekitar lima kilometer dari kediaman kami. Ketika ibu pulang sekolah pun bapak selalu menyempatkan untuk menjemputnya meskipun kadang beliau masih mengajar di kelas.

Setelah aku menghabiskan sarapanku, aku langsung mencuci piring dan sendok yang telah kupakai. Ini memang sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga kami, habis makan langsung cuci sendiri. Kemudian aku pun berangkat sekolah. Meskipun waktu telah menunjukkan bahwa aku hampir terlambat, namun tak ada kekhawatiran yang membuatku bergerak lebih cepat. Aku tetap berjalan melenggang dengan santainya menuju sekolah yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari rumahku tanpa takut akan dihukum jika terlambat. Aku yakin bahwa aku tidak akan dihukum ataupun dimarahi.

“Aku kan anak baru, belum tahu aturan. Lagipula yang menyambut juga pasti orang itu-itu aja.” Gumamku remeh.

Aku memasuki halaman sekolah seolah dengan tanpa ada semangat juang. Benar saja, meskipun aku adalah murid baru, tapi tak ada suasana dan hal yang baru di sepanjang mata memandang. Pasalnya, SMA tempatku kini bersekolah adalah masih berada di bawah payung yayasan yang sama dengan SMP ku dahulu. Keduanya merupakan amal usaha milik salah satu ormas terbesar di Indonesia, Muhammadiyah. Bahkan letak keduanya pun berjejer dan hanya dipisahkan oleh jalan setapak. Tak heran banyak orang sering mengatakan bahwa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, aku hanya perlu melompati pagar dan berganti kostum bak Satria Baja Hitam. Begitulah kiranya ejekan-ejekan mereka meremehkan kredibilitas riwayat pendidikanku. Namun aku tak pernah menanggapinya dengan serius, kuanggap semua itu sebagai gurauan belaka dan mungkin mereka memang hanya bergurau. Dan semua fakta itulah yang menjadikan SMA ku ini sudah nampak sangat familiar bagiku, karena memang aku sudah sering nongkrong di dalamnya. Sebelum aku terdaftar sebagai murid pun aku sudah banyak teman, aku sudah sangat akrab dengan kakak-kakak kelasku. Kami sudah sangat sering nongkrong bareng, ditambah kami sudah terlebih dahulu akrab sebagai anggota Marching Band, satu-satunya kegiatan ekstrakurikuler yang kami miliki.

Adalah keinginan bapakku untuk tetap menyekolahkanku di sekolah Muhammadiyah. Aku tidak berontak sedikitpun, meskipun orang-orang di luar sana tak henti-hentinya mengomporiku agar aku terpukau dengan hebatnya sekolah-sekolah lain. Aku sangat menyadari bahwa apa yang dilakukan bapakku adalah wujud dari sebuah komitmen yang kuat bagi seorang pemimpin sekaligus anggota persyarikatan. Beliau sangat mencintai persyarikatannya dan aku menghargai itu. Bapak tak seperti petinggi-petinggi Muhammadiyah yang lainnya yang dengan gegap gempita menyuarakan untuk senantiasa memakmurkan amal usaha persyarikatan, namun di sisi lain anak-anak mereka tak ada satu pun yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Cuiih! Aku sangat membenci kemunafikan mereka itu. Bahkan tak jarang mereka meremehkan serta merendahkan kredibilitas para siswa binaan sekolah yang mereka bangun sendiri. Apakah mereka sudah kehilangan akal? Mengapa tidak bertindak konkret saja? Daripada sekedar melontarkan kritik yang justru melemahkan mental orang-orang yang sedang berjuang demi meninggikan idealisme mereka. Itulah segenap ironi yang begitu menyayat hatiku. Sebuah ironi yang telah menebar keputusasaan, memicu segenap amarah, kebencian, dendam dan kesedihan bercampur lagi menggumpal di relung hati seorang anak ingusan sepertiku.

Derap langkahku semakin lunglai tatkala aku memandangi kondisi fisik sekolahku yang sudah hampir roboh. Atapnya bocor, sebagian dindingnya kusam dan retak, serta langit-langitnya yang berhiaskan lubang yang bahkan tikus pun tak sudi menghuni rongga atapnya. Belum lagi kamar mandi siswa yang sudah tak layak pakai. Sekedar ingin buang air saja kami sudah dihadapkan oleh dua pilihan, ditahan atau harus mencari tebengan di rumah-rumah penduduk sekitar sekolah. Ketika pandangan mataku terhenti di sebuah kelas yang nantinya akan menjadi ruang belajarku, semangatku pun semakin hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, kelasku lebih cocok disebut gudang ketimbang disebut medan belajar.

Beruntung, hari itu aku tidak terlambat. Aku masih sempat nongkrong untuk sekedar ngobrol dan bercengkerama dengan kakak-kakak kelasku. Ya, begitulah aku. Bukannya aku berbaur dengan teman-teman sekelasku yang sama-sama anak baru, tapi malah bergabung dengan kakak-kakak kelasku. Mau bagaimana lagi? Aku sudah lebih dulu kenal dan nyaman dengan mereka. Wajahku sudah sangat tidak asing bagi hampir seluruh warga sekolah. Kecuali bagi murid-murid baru yang bukan berasal dari SMP ku, mereka mengira aku juga kakak kelas mereka. Aku pun asyik ngerumpi dengan kakak-kakak kelasku sembari menunggu bel berbunyi. Saat itu yang menyambutku adalah Beni, Sholihin, dan Hendri.

“Welcome bro! Hahaha.” Sapa Beni dengan senyum yang mengejek, seolah ia tahu betul isi otakku.

“Welcome pale lu? Gua cuman lompat pager lu bilang welcome.” Sautku.

Beni semakin girang mendengar responku, “Wuis! Kalem mamen, terima saja nasibmu. Hahah.” Pungkasnya, kemudian ia bertanya, “Berapa jumlahnya adik kelas gua ini?”

Sial, dia semakin jadi membuly ku. Aku seolah menjadi lebih rendah di hadapan mereka karena aku anak baru. Mereka memang suka keterlaluan bercandanya, namun aku sudah sangat terbiasa dengan bulyan mereka. Aku tak sedikitpun tersinggung, karena biasanya aku yang lebih banyak membuly mereka. Tapi kali ini, kubiarkan mereka menang.

“Nah? Menegetehe? Yang punya wilayah kan elu.” Jawabku sembari mengerutkan dahi dengan ekspresi keheranan.

“Yaelah... gimana toh mad? Kamu sih, bukannya campur sama-sama anak baru malah kumpul sama kakak kelas. Ngelunjak!” ujar Sholihin yang tak mau ketinggalan membulyku.

“Hahaha... iya nih anak ngelunjak, harusnya cium tangan kakak dulu dong!” saut Hendri ikut-ikutan.

“Kampret! Iya kakak... ampun... kakak...” jawabku atas bulyan mereka yang seketika meledakkan gelar tawa kami.

“Eh, tapi anak baru di kelas lu ada yang cantik loh mad.” sambung Beni.

“Ih, emang gue pikirin? Ya elu sono kalo lu doyan. Ngapa kudu lapor sama gue?” jawabku.

“Ya kan entar elu sekelas sama dia, kenalin lah sama gue.” Rayu Beni.

“Yee... ogah... lu kata gua makelar cewek apa?” jawabku.

“Oke, tapi awas ya kalo lu naksir!” kata Beni mengancam.

“Iya... iya... ndak bakal. Yang penting lu kudu bayar upeti sama kelas gue. Hahaha.” Sautku balik mengancam.

“Sial nih bocah, mau morotin gue?” jawab Beni mengakhiri rumpian kami pagi itu.

Tak lama berselang, dering bel sekolah menggema di antara ruang-ruang kelas. Aku beranjak ke ruang kelasku dan seperti yang sudah kubayangkan sebelumnya, banyak bangku kosong tak berpenghuni di dalam kelasku. Siswa baru tahun ini hanya terdiri kurang dari lima belas siswa termasuk aku. Sebenarnya ada sebanyak dua puluh tujuh siswa yang terdaftar, namun hanya segelintir itulah yang tak mengu-rungkan niatnya. Belum lagi seleksi alam yang mungkin akan kami hadapi. Tapi aku sudah sangat siap dan terbiasa menghadapi ini. Lagipula teman-temanku di luar sekolah banyak, jadi aku tak risau dengan kondisi ini.

Hari itu, kegiatan kami hanyalah sekedar perkenalan sebagai bagian dari agenda Masa Orientasi Sekolah (MOS). Sebenarnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah pada dasarnya memiliki istilah sendiri untuk kegiatan orientasi. Namun, kemunduran yang sangat signifikan bagi sekolah kami menyebabkan sekolah kami harus mengadopsi istilah atau simbol-simbol sekolah-sekolah pada umumnya seperti MOS untuk kegiatan orientasi siswa dan OSIS sebagai organisasi eksekutif siswa. Kelak, perombakan istilah dan simbol-simbol tersebut akan menjadi penanda bahwa pernah terjadi kobaran revolusi di sekolah melalui tangan-tangan generasi kami.

Kemunduran besar ini juga menyebabkan pudarnya esensi sejarah di mana sekolah kami dahulunya pernah menjadi sekolah terbesar dan terbaik. Banyak tokoh-tokoh besar dan berpengaruh lahir dari sini. Ironisnya, kini hampir tak seorang pun mengakui catatan emas itu termasuk petinggi persyarikatan sendiri.

Implementasi kegiatan orientasi di sekolah kami berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada saat itu. Saat itu, praktik-praktik intimidasi dalam kegiatan orientasi masih sangat lumrah dan bebas. Namun sekolah kami nampaknya sudah lebih maju dengan meniadakan sama sekali hal-hal tersebut. Bentuk orientasi yang demikian tentunya menuntut fasilitator kegiatan untuk lebih ekstra dalam berkreatifitas. Tujuannya adalah menciptakan kegiatan orientasi yang menyenangkan tanpa unsur penindasan. Tentunya ini tidaklah mudah bagi penyelenggara kegiatan orientasi. Bayangkan, dengan pelbagai batasan-batasan tersebut, kegiatan orientasi harus meriah dan tidak membosankan. Apalagi kala itu konsep kegiatan orientasi siswa baru yang seperti ini masih sangat asing, sedangkan kecenderungan masyarakat adalah mengikuti bahkan membenarkan budaya yang populer berdasarkan indikator-indikator yang tak jelas. Namun bagiku, kreatifitas yang dibangun di tengah keterbatasan akan menghasilkan output yang lebih bermanfaat dan memiliki esensi lebih besar ketimbang yang dimanjakan oleh kebebasan tanpa batas. Demikian jugalah Islam, segala batasan-batasan ketat yang diatur dalam agama ini sejatinya bukanlah untuk membatasi ruang berfikir manusia. Sebaliknya, hal tersebut justru ada untuk memaksimalkan akal manusia. Dengan menjunjung tinggi batasan-batasan tersebut, manusia menjadi lebih bijak dalam memilih tindakan. Orang yang terbiasa disiplin akan lebih bijaksana ketimbang orang yang terbiasa hidup tanpa aturan.

Tapi saat itu aku bukanlah seorang yang memiliki cinta yang mendalam kepada Islam. Ilmu yang kumiliki hanya tersendat di dalam memori saja dan tak pernah meresap ke relung hati. Sehingga saat itu aku masih sangat mengesampingkan kebenaran itu.

Sebelum materi orientasi dimulai, kami disambut oleh kakak-kakak kelas kami sebagai tahap warming up sebelum kami dihadapkan dengan materi orientasi yang menjenuhkan. Namun sepertinya kakak-kakak kelas kami tak memahami konsep di atas. Alhasil tahap warming up yang mereka sajikan pun tak kalah menjenuhkan. Hal ini membuatku terkekeh dalam hati. Betapa lemahnya cara berpikir kami kala itu.

Termasuk yang mengisi tahap warming up itu adalah Beni, temanku yang mengobrol bersamaku sebelum masuk kelas. Ia ditemani teman-teman sekelasnya yang perempuan. Melihat ini, aku semakin menyepelekan. Aku melayangkan protes terhadap penyajian mereka, namun bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan. Di tengah-tengah jam warming up itu, aku menaikkan kakiku dan duduk jegang di atas bangkuku. Berulang kali kakak-kakak kelas perempuanku yang juga kukenal akrab menegurku dengan lembut, namun tak membuatku menghentikan aksiku. Hingga pada akhirnya Beni sendiri yang turun tangan dan menghampiriku yang memilih duduk di barisan bangku paling belakang.

“Bro, turunin dulu tu kaki. Kooperatif dikit lah, ini kan di kelas bro. Jangan malu-maluin gue lah.” Bujuk Beni dengan tanpa amarah.

Akhirnya aku turuti pintanya. Kuikuti tahap itu dengan tidak berulah lagi. Jikalau bukan temanku sendiri yang meminta, mungkin aku akan tetap berulah hingga akhir kelas.

Seusai warming up selesai, masuklah seorang guru untuk mengisi materi orientasi. Awalnya aku antusias mengikuti materi yang disampaikannya. Namun, teknik mengelola kelasnya yang sangat klasik membuatku ingin cepat-cepat keluar dari kelas itu. Beliau hanya ceramah saja sepanjang waktu yang disediakan. Kelas itu tak ubahnya seperti khutbah Jum’at. Saking jenuhnya, kuletakkan kepalaku di atas meja hingga akhir jam.

Segala titik penat yang menggumpal seketika pudar setelah terdengar bunyi bel sekolah tanda tibanya waktu istirahat. Aku segera melangkah meninggalkan kelas dan kutengok kanan kiri mencari Beni. Kupikir akan menyenangkan menghabiskan jam istirahat dengannya dan teman-temannya. Tak lama ia menghampiriku dan mengajakku pergi ke kantin yang terletak di halaman belakang sekolah. Tanpa pikir panjang, kupenuhi ajakannya.

Sesampainya di kantin, memori tentang penatnya kelas yang baru saja kulewati seolah tak lagi terngiang setelah kudapati kakak-kakak kelasku yang juga teman-teman nongkrongku di luar sekolah di kantin itu. Geladak gelar tawa meramaikan suasana hatiku yang tak menentu. Tingkah-tingkah konyol dan keakraban kami sejenak memudarkan aura pesimistik dalam jiwaku.

Kupikir aku akan menjalani hari itu dengan atmosfer keputus-asaan hingga akhir jam sekolah. Namun, jam istirahat itu cukup untuk mewarnai hariku dengan sedikit goresan keceriaan di dalamnya. Keceriaanku di kantin sekolah pada hari itu semakin lengkap manakala teman-temanku mentraktirku untuk jajan. Semangkuk syomai, segelas es teh, dan sebatang rokok ketengan menjadi jamuan istimewa untukku hari itu. Mereka memperlakukanku seolah aku ini adalah seorang bos mafia. Fenomena seperti ini mungkin akan sangat sulit ditemui di sekolah-sekolah lain. Seorang anak baru diperlakukan seperti raja oleh senior-seniornya. Namun, untukku itu bukan hal yang aneh. Mereka memperlakukanku sedemikian mulia pasti bukan tanpa alasan. Tak heran jika sampai semuluk itu, karena aku adalah anak seorang kepala sekolah. Ya, pada dasarnya aku membenci statusku sebagai anak kepala sekolah. Namun, tak kupungkiri pula bahwa dalam beberapa kasus aku sangat menikmatinya. Selain itu, peranku yang sangat vokal dalam ekstrakurikuler Drum Band di mana kami semua (siswa SMP dan SMA) terhimpun di dalamnya dapat juga menjadi sebab. Tapi tetap saja, aku tak menyukai statusku sebagai anak kepala sekolah. Apa hebatnya dikenal karena kebesaran nama bapaknya? Meskipun kuawali hariku dengan penuh keputusasaan dan sikap pesimis, dalam relung hati terselip sepercik tekad untuk mengukir namaku sendiri dengan tanganku sendiri. Aku hanya perlu memikirkan caranya.

Hingga yang terpikir di benakku kala itu adalah bahwa aku dikenal karena kebesaran dan kekuasaan bapakku. Jika aku berprestasi, maka orang menganggapnya suatu hal yang wajar. Orang pasti berpikir bahwa segala tindak tandukku adalah disetir dan diawasi oleh bapakku. Mindset seperti inilah yang sangat ingin kubongkar. Satu-satunya cara yang bisa membalikkan persepsi itu adalah dengan menyelisihi tiap langkah yang ditempuh oleh pihak yang dianggap sebagai mobilisator. Masalahnya adalah langkah kontrastif seperti apa yang paling baik? Di awal-awal karirku sebagai siswa SMA, aku sempat salah merefleksikan pemikiran tersebut dengan tendensi-tendensi yang negatif. Hal inilah yang melatar-belakangi kenakalan-kenakalanku semasa sekolah. Kenakalan-kena-kalan itu kulakukan semata untuk membebaskanku dari kekangan nama besar bapakku. Aku hanya ingin BEBAS! Begitulah cermin kecerobohanku kala itu.

Demikianlah yang kudapat di hari pertamaku masuk SMA. Setelah jam istirahat selesai, aku kembali ke kelas dan mengikuti materi orientasi yang terakhir yang sama membosankannya seperti materi-materi sebelumnya hingga waktu dzuhur. Ketika waktu dzuhur tiba, sebagai aturan di sekolah kami, semua warga sekolah harus mengikuti sholat berjamaah di masjid yang terletak di komplek pendidikan Muhammadiyah itu. Namun, kebetulan kala itu ketertiban dan pengawasan di sekolah kami sangatlah lemah dan nampaknya kejenuhan dan kepenatan di kelas dapat berakibat pada kelelahan fisik. Jadi, kuputuskan untuk bolos sholat berjamaah dan segera pulang ke rumah dan sholat sendirian di rumah. Karena lemahnya pengawasan guru, aku dan teman-temanku bisa sangat leluasa untuk membolos.


Hari pertama itu cukup melelahkan bagiku. Meskipun tak ada aktifitas fisik yang berarti, namun lingkungan sekolah yang sepi serta materi-materi orientasi yang menjemuhkan membuat siswa terutama aku menjadi tidak betah untuk berlama-lama disekolah. Jikalau saja fasilitas disekolahku lengkap dan memiliki banyak murid, tentu suasananya akan sangat berbeda. Namun, apakah fasilitas menjadi syarat mutlak untuk dapat menawan hati para siswa? Jika harus demikian, maka habislah sekolah-sekolah miskin seperti sekolah kami ini. Sekolah tua yang dikelilingi oleh sekolah-sekolah besar dengan beragam fasilitas yang ditawarkan. Sekolah yang mau menampung anak-anak usia sekolah yang tak mampu baik secara materi maupun prestasi. Di saat sekolah-sekolah Negeri hanya menampung siswa yang memiliki kecerdasan dan prestasi, kemudian sekolah-sekolah swasta yang punya cukup fasilitas hanya menerima siswa yang berduit, lantas bagaimana dengan anak-anak usia sekolah yang kurang cerdas dan tidak mampu secara materi? Kalaupun mereka masuk ke sekolah miskin seperti sekolah kami, mereka harus siap untuk direndahkan, diremehkan, dan dipandang sebelah mata. Lagipula, sekolah-sekolah hari ini terlihat lebih seperti pedagang jasa daripada pejuang pendidikan.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar